web 2.0

Senin, Juli 14, 2008

Adab Santun Penuntut Ilmu (2)

بسم الله الر حمن الر حيم

7. Dengan hikmah

Seorang penuntut ilmu hendaknya menghiasi dirinya dengan sifat hikmah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak." (Al-Baqarah: 269)

(Maksud dari) al-hikmah adalah seorang penuntut ilmu selayaknya menjadi pengayom bagi orang lain dengan akhlak dan budi pekerti yang ia tampilkan dan membina orang lain dengan ajaran Islam. Dia berkomunikasi dengan berbagai tipe manusia disesuaikan dengan situasi dan kondisi mereka. Jika telah menempuh cara ini kita akan meraih banyak kebaikan. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,

"Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak." (Al-Baqarah: 269)

Al-Hakim (orang yang arif dan bijak) bisa menempatkan berbagai perkara sesuai tempatnya. Sebab kata 'al-hakim' diambil dari kata 'al-ihkam' yang bermakna sempuma. Melakukan sesuatu secara sempurna adalah dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya (secara tepat). Oleh karena itu selayaknya bahkan wajib hukumnya bagi seorang penuntut ilmu menjadi orang yang arif dan bijaksana dalam mengemban misi dakwah. Allah telah menyebutkan beberapa tingkatan dalam berdakwah dalam firman-Nya,

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (An-Nahl: 125)

Allah menyebutkan tingkatan cara dakwah yang keempat dalam membantah Ahlul Kitab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang baik kecuali dengan orang-orang yang dzalim di antara mereka." (Al-Ankabut: 46)

Seorang penuntut ilmu memilih metode-metode dakwah yang paling memungkinkan untuk bisa diterima (oleh obyek dakwah). Contoh hal tersebut bisa ditemui pada jejak dakwah Rasulullah. (Suatu saat) datang seorang Arab Badui lalu ia kencing di salah satu bagian masjid. Maka para shahabat mendekati dan membentaknya, namun Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melarang mereka. Tatkala orang Badui tersebut telah selesai dari kencingnya Nabi pun memanggil dan bersabda kepadanya,

"Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak layak sedikitpun untuk tempat buang air tidak pula untuk kotoran, masjid itu hanyalah sebagai tempat untuk berzikir kepada Allah, tempat shalat dan membaca Al-Qur'an." 21

Atau sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Apakah kamu pernah melihat cara yang lebih baik dari hikmah seperti ini? Orang Badui ini pun menjadi lapang dadanya dan merasa puas, sehingga dia berkata, "Ya Allah, berilah rahmat kepadaku dan kepada Muhammad dan janganlah Engkau rahmati seorangpun selain kami."

Kisah yang lain (diriwayatkan) dari Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Sulami dia berkata,

"Ketika saya sedang shalat bersama Rasulullah maka ada seorang yang bersin lalu saya ucapkan Yarhamukallah' (semoga Allah merahmatimu). Maka orang-orang pun mengarahkan pandangan mereka kepadaku. Saya katakan, "Duhai ibuku kehilangan aku, ada apa kalian melihatku?" Mereka lalu menepuk tangan ke paha-paha mereka. Ketika aku melihat mereka menyuruh aku diam, akupun diam. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam selesai shalat - dengan bapak dan ibuku! - sungguh aku belum pernah melihat seorang pengajar pun yang lebih baik pengajarannya dari beliau shallallahu ‘alahi wa sallam. Demi Allah beliau tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak mencelaku. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

"Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak layak sedikitpun ada ucapan manusia. Sesungguhnya shalat hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur'an." 22

Dari sini kita dapati bahwa dakwah kepada Allah harus dilakukan dengan cara hikmah sebagaimana yang telah Allah ‘Azza wa jalla perintahkan.

Contoh lainnya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pernah melihat seorang laki-laki memakai cincin emas di tangannya (cincin emas hukumnya haram dipakai oleh laki-laki). Maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mencabut cincin itu dari tangannya dan melemparkannya. Beliau pun bersabda,

"Salah seorang dari kalian sengaja mengambil bara api dari neraka dan menaruhnya di tangannya." 23

Tatkala Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah pergi ada seseorang berkata kepadanya, "Ambillah cincin itu dan manfaatkanlah." Maka ia berkata, "Demi Allah, saya tidak akan mengambil cincin yang telah dilemparkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.”

Metode pembimbingan yang tersirat pada hadits ini (sifatnya) lebih keras. Sebab setiap keadaan mempunyai peringatan yang sesuai dengan kondisi tersebut. Demikianlah, setiap orang yang berdakwah kepada Allah seyogyanya bisa menempatkan berbagai hal pada tempatnya (yang sesuai). Dan hendaknya ia tidak memukul rata kondisi semua orang. Maksudnya adalah agar hal yang bermanfaat dapat tercapai.

Coba kita perhatikan keadaan kebanyakan juru dakwah masa sekarang ini. Kita jumpai sebagian mereka terbawa semangat sehingga banyak orang lari menjauh dari seruan dakwahnya. Apabila ia menemui ada orang yang melakukan perbuatan haram maka engkau akan dapati da'i tersebut menegurnya dengan cara kasar dan keras sambil berkata, "Apakah engkau tidak takut kepada Allah!"

Atau mengucapkan ungkapan-ungkapan yang serupa dengan itu sehingga orang yang ditegur menjadi phobi darinya. Ini tindakan yang tidak baik. Sebab tindakan tersebut akan direspon dengan tindakan yang sebaliknya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan penjelasan tatkala beliau menukil ucapan Imam Asy-Syafi'i tentang pandangan beliau terhadap Ahli Kalam.

Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata,

"Hukuman (yang aku tetapkan) kepada Ahli Kalam adalah agar mereka dipukul dengan pelepah daun kurma dan sandal sambil diarak keliling kampung dan dikatakan bahwa ini hukuman orang yang meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan condong kepada ilmu kalam."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

"Jika manusia melihat orang-orang tersebut (Ahli Kalam) ia akan dapati bahwa mereka pantas menerima apa yang dikatakan Imam Asy-Syafi'i dari satu sisi. Tapi, kalau dia melihat mereka dari sudut pandang taqdir dan kelabilan, sesungguhnya setan telah mengungkung dan mengalahkan mereka, maka ia pun akan trenyuh dan kasihan pada mereka. Ia akan memuji Allah sebab Dia telah menyelamatkannya dari musibah yang telah menimpa mereka. Mereka mempunyai kecerdasan tapi tidak diberi kesucian, mereka diberi pemahaman tapi tidak diberi ilmu, mereka diberi pendengaran, penglihatan, dan hati tapi semua itu tidak berguna sedikitpun."

Demikianlah, seyogyanya bagi kita wahai saudara-saudara seiman untuk melihat para pelaku kemaksiatan dengan dua kacamata yaitu kacamata syari'at dan kacamata taqdir. (Dengan) kacamata syari'at, kita tidak terhalangi oleh celaan orang yang suka mencela dalam menjalankan perintah Allah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang lelaki dan perempuan yang berzina,

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah." (An-Nur: 2)

Kitapun melihat mereka dengan kacamata taqdir, maka kita akan merasa kasihan dan trenyuh melihat mereka. Kitapun hendaknya bermuamalah (berinteraksi) dengan cara yang kita pandang sebagai cara yang paling dekat untuk tercapainya sasaran dan hilangnya hal yang tidak kita sukai.

Inilah diantara sekian pengaruh dari seorang penuntut ilmu yang (keadaannya) berbeda dengan orang jahil (bodoh) yang memiliki semangat tanpa diimbangi dengan ilmu. Seorang penuntut ilmu wajib menjalankan misi dakwah kepada Allah dengan cara hikmah.


8. Bersabar dalam menuntut ilmu.

Maksudnya terus (tekun) belajar, tidak berhenti, tidak pula merasa jemu, namun dia harus terus belajar disesuaikan dengan kemampuan yang ia miliki. la pun harus sabar dengan ilmu (yang ia cari) dan tidak merasa bosan. Seseorang terkadang merasa letih dan meninggalkan suatu pekerjaan apabila ia terhinggapi rasa jemu. Namun jika ia tetap menekuni ilmu maka ia akan meraih pahala orang-orang yang sabar di satu sisi. Dan ia akan mendapatkan kesudahan yang baik pada sisi lainnya. Simaklah firman Allah ‘Azza wa jalla kepada Nabi-Nya,

"Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaum sebelum ini. Maka bersabarlah sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (Hud: 49)


9. Menghormati dan menghargai ulama.

Para penuntut ilmu berkewajiban menghormati dan menghargai para ulama dan hendaknya mereka berlapang dada terhadap munculnya perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama dan orang-orang selain mereka. Hendaknya pula menanggapi hal itu dengan memberikan udzur kepada orang yang menempuh jalan keliru menurut pandangan mereka. Ini merupakan titik point yang sangat penting, sebab sebagian orang ada yang berusaha mencari-cari kesalahan dan kekeliruan orang lain.

Sehingga mereka dapat mengambil sesuatu yang tidak pantas pada hak orang tersebut dengan cara mencemarkan nama baiknya di hadapan manusia. Ini termasuk kesalahan besar. Jika ghibah yang dilakukan kepada orang awam saja tergolong dosa besar, maka dosa ghibah yang dilakukan terhadap seorang ulama jauh lebih besar. Sebab dampak negatif perbuatan ghibah tersebut tidak hanya dirasakan oleh ulama yang bersangkutan saja, tetapi juga terhadap diri pribadinya sekaligus ilmu syari'at yang ia bawa.

Apabila orang-orang telah meremehkan seorang ulama yang menyebabkan namanya jatuh dalam pandangan masyarakat, maka akan jatuh pula ucapan ulama tersebut. Jika ulama tersebut mengucapkan al-haq (hakikat kebenaran) dan menunjukkan kepadanya, maka orang yang melakukan ghibah terhadap ulama tersebut akan menghalangi manusia dari ucapan ulama tersebut. Perkara ini bahayanya besar sekali.

Saya katakan, para pemuda harus menyikapi perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama dengan niat yang baik dan kesungguhan.

Mereka pun hendaknya dapat memaklumi kesalahan dan kekeliruan yang telah mereka lakukan. Tidak ada penghalang kalau mereka melakukan perbincangan dengan ulama-ulama tersebut dalam persoalan yang mereka yakini bahwa hal itu adalah suatu kekeliruan, sehingga mereka dapat menjelaskan kepada ulama tersebut apakah kekeliruan tersebut berasal dari mereka atau berasal dari orang-orang yang menyatakan bahwa ulama-ulama tersebut yang keliru?!

Seseorang terkadang mengira bahwa ucapan ulama tersebut keliru, setelah dilakukan diskusi akhirnya ia menerima kejelasan tentang kebenarannya. Kita adalah manusia biasa.

"Setiap anak (keturunan) Adam pasti mempunyai kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat." 24

Adapun orang-orang yang senang dengan ketergelinciran dan kekeliruan ulama sehingga ia dapat mempublikasikan kepada manusia agar terjadi perpecahan, sungguh perbuatan ini bukan jalan kaum Salaf. Demikian pula kesalahan dan kekeliruan yang muncul dari para penguasa, kita tidak diperbolehkan untuk menjadikan kesalahan dan kekeliruan tersebut sebagai dalih untuk mencela mereka dalam segala hal lalu kita menutup mata dari kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam kitab-Nya,

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil." (Al-Maidah: 8)

Yaitu janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyeretmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil hukumnya wajib. Seseorang tidak dihalalkan untuk mengambil ketergelinciran seorang penguasa, ulama atau selain mereka, lalu menyebarluaskan kekeliruan tersebut kepada khalayak manusia. Setelah itu ia membisu tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Sungguh ini bukan tindakan yang adil.

Coba bandingkan hal di atas pada dirimu. Andaikan ada seseorang dikuasakan kepadamu, kemudian orang itu menyebarluaskan ketergelinciran dan kejelekanmu tapi menyembunyikan kebaikan-kebaikan dan jasamu. Tentunya engkau akan menganggap orang tersebut telah berbuat jahat kepadamu.

Jika engkau telah melihat hal tersebut pada dirimu, maka wajib pula melihat hal itu pada orang lain. Sebagaimana yang telah saya isyaratkan tadi, bahwa terapi dari yang engkau kira sebagai suatu kesalahan adalah dengan jalan menghubungi orang yang engkau pandang salah agar engkau bisa melakukan diskusi dengan orang itu. Setelah diskusi maka akan jelas penyikapan yang harus dilakukan. Betapa banyak manusia setelah diadakan diskusi ternyata ucapannya benar yang kita telah mengira sebelumnya itu merupakan suatu kekeliruan.

"Seorang mukmin bagi mukmin lainnya bagaikan bangunan, satu sama lainnya saling menguatkan." 25

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

"Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api neraka dan masuk ke dalam surga, maka hendaklah (ketika) datang kematiannya dia berada dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan hendaklah ia mendatangi manusia dari hal-hal yang ia pun suka kalau hal itu didatangkan pada dirinya." 26

Inilah tindakan adil dan istiqamah.


10. Memegang teguh Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Para penuntut ilmu wajib untuk mencurahkan perhatian dalam menerima ilmu dan menimba dari sumber-sumbernya. Seorang penuntut ilmu tidak akan sukses jika tidak mengawali dengan sumber-sumber ilmu tersebut. Sumber-sumber tersebut adalah:

Al-Qur'an Al-Karim

Seorang penuntut ilmu wajib mencurahkan perhatian pada Al-Qur'an baik dalam membaca, menghafal, memahami, dan mengamalkannya. Al-Qur'an adalah tali Allah yang kokoh dan merupakan dasar ilmu. Kaum Salafus Shalih benar-benar mencurahkan perhatian yang maksimal kepada Al-Qur'an ini. Disebutkan perkara-perkara yang menakjubkan tentang antusias (mereka) pada Al-Qur'an.

Engkau dapati salah seorang dari mereka telah hafal Al-Qur'an padahal usia mereka masih tujuh tahun. Sebagian mereka hafal Al-Qur'an dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Contoh-contoh tersebut menunjukkan besarnya antusias mereka terhadap Al-Qur'an. Maka seorang penuntut ilmu wajib mencurahkan perhatiannya pada Al-Qur'an, menghafalnya dengan dibimbing seorang pengajar, karena Al-Qur'an diambil dari jalan talaqqiy (mengambil ilmu langsung dari seorang guru).

Di antara hal-hal yang sangat disayangkan, terkadang kila menjumpai sebagian penuntut ilmu tidak menghafal Al-Qur'an. Bahkan sebagian mereka tidak baik (lancar) dalam membacanya. Fenomena ini merupakan kesaiahan fatal pada metode pembelajaran. Oleh karenanya saya kembali mengingatkan bahwa para penuntut ilmu wajib mencurahkan perhatiannya untuk menghafal Al-Qur'an, mengamalkan, mendakwahkan dan memahaminya dengan pemahaman yang sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih.

Hadits Shahih

Hadits Shahih merupakan sumber kedua dalam syari'at Islam dan merupakan penjabar Al-Qur'an Al-Karim. Seorang penuntut ilmu wajib menghimpun kedua hal tersebut dan mencurahkan perhatian kepada keduanya. Ia wajib menghafal hadits baik teks-teksnya maupun mempelajari sanad, matan-matan, dan memilah (memisahkan) antara hadits shahih dan hadits dha'if (lemah).

Demikian pula memelihara hadits dilakukan dengan cara membela dan membantah syubhat-syubhat yang dilontarkan para ahli bid'ah sekitar hadits Nabi. Penuntut ilmu wajib memegang leguh Al-Qur'an dan hadits shahih. Bagi penuntut ilmu keduanya bagaikan dua sayap burung, jika salah satu sayap patah maka burung tersebut tidak bisa terbang. Oleh karena itu janganlah engkau hanya mencurahkan perhatian pada hadits (semata) namun lalai terhadap Al-Qur'an atau sebaliknya engkau mencurahkan perhatian pada Al-Qur'an tapi melalaikan hadits.

Banyak di kalangan penuntut ilmu yang mencurahkan perhatiannya pada hadits beserta syarh-syarh (penjelasan), para perawi (orang-orang yang meriwayatkan hadits), dan musthalah-musthalah-nya dengan perhatian yang sempurna.

Namun jika engkau tanyakan kepadanya tentang satu ayat Al-Qur'an maka engkau akan lihat penuntut ilmu itu tidak mengetahuinya. Ini merupakan kesalahan yang besar (fatal). Al-Qur'an dan Al-Hadits harus menjadi dua sayap bagimu, wahai penuntut ilmu.

Yang penting (juga) adalah ucapan ulama.

Engkau jangan meremehkan ucapan ulama serta mengabaikannya. Sebab kedalaman ilmu mereka jauh di atasmu. Mereka memiliki kaidah-kaidah syari'at, seluk-beluknya serta garis-garis ketentuan yang tidak engkau miliki. Oleh karena itu ulama-ulama besar yang benar-benar ahli di bidangnya, apabila mereka mempunyai pendapat yang mereka anggap unggul (kuat) mereka mengatakan, "Jika ada orang yang mengucapkannya (maka kami akan mengucapkan) dan jika tidak maka kami tidak akan mengucapkannya."

Contohnya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan kedalaman ilmu dan keluasan pentelaahan beliau, apabila mengucapkan suatu perkataan yang tidak beliau ketahui orang yang mengucapkannya maka beliau berkata, "Saya mengucapkan itu jika ucapan itu sudah pemah ada yang mengucapkan." Beliau tidak mengambil (pendapat) dengan ra'yu (akal)-nya. Oleh karena itu seorang penuntut ilmu wajib merujuk kepada Al-Qur'an dan hadits Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam dengan dibimbing para ulama. Merujuk kepada Kitabullah (Al-Qur'an) dilakukan dengan menghafal, mempelajari, dan mengamalkan isi kandungannya.

Allah ‘Azza wa jalla berfirman,

"Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang berfikir." (Shaad: 29)

"Supaya mereka memperhatikan ayat-ayat."

Yaitu merenungi ayat-ayat tersebut yang mengantarkan pada pemahaman maknanya.

"Dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang berpikir."

Yaitu mendapatkan pelajaran (tadzakur) berupa beramal dengan Al-Qur'an tersebut. Dengan hikmah inilah Al-Qur'an turun.

Jika Al-Qur'an turun untuk hikmah tersebut maka kita hendaknya merujuk kepada Al-Qur'an agar bisa mempelajari kandungannya, mengetahui makna-maknanya setelah itu merealisasikan ajaran yang dibawa. Demi Allah, sungguh pada Al-Qur'an terdapat kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat kelak.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

"Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta." (Thaha: 123-124)

Oleh karena itu kita tidak mendapati satu orang pun yang lebih senang kehidupannya, lebih lapang dadanya, dan lebih tentram hatinya dibandingkan seorang mukmin meskipun ia miskin. Orang mukmin adalah orang yang paling bahagia, tenang dan lapang dadanya. Bacalah jika kalian mau firman Allah subhanahu wa ta’ala,

"Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan." (An-Nahl: 97)

Apakah kehidupan yang baik itu? Jawabannya: Kehidupan yang baik adalah kelapangan dada dan ketenangan hati, meskipun keadaan seseorang sangat kekurangan. Dia merasakan ketenangan dalam jiwa dan lapang dadanya. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, seluruh urusannya baik, tidaklah hal itu didapati kecuali oleh seorang mukmin, jika tertimpa musibah ia bersabar, hal itu baik baginya dan jika ia merasakan kesenangan ia bersyukur, itupun baik baginya." 27

Jika orang kafir tertimpa musibah apakah ia bersabar? Jawabannya: Tidak! Dia akan sedih dan dunia terasa sempit baginya. Bisa jadi ia akan bunuh diri. Orang mukmin akan bersabar dan menikmati lezatnya kesabaran, yaitu kelapangan dan ketenangan. Oleh karena itu ia merasakan kehidupan yang baik. Maka yang dimaksudkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

"Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik."

Yakni kehidupan yang baik dalam hati dan jiwa.

Sebagian ahli sejarah menceritakan kehidupan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Beliau adalah seorang Qadhi Mesir pada zamannya. Apabila beliau berangkat ke tempat kerja, beliau mengendarai kereta yang ditarik beberapa ekor kuda atau bighal (peranakan kuda dengan keledai) dalam suatu iring-iringan. Suatu hari beliau melintasi seorang lelaki Yahudi penjual minyak di Mesir (seorang penjual minyak biasanya berbaju kotor). Datanglah lelaki Yahudi itu lalu menghentikan iring-iringan tersebut. Dia berkata kepada Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, "Sesungguhnya Nabi kalian bersabda,

"Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi orang kafir." 28

Anda adalah Qadhi bagi para Qadhi di Mesir. Anda berada dalam iring-iringan, di dalam kesenangan, sedangkan saya - yaitu seorang Yahudi - dalam keadaan tersiksa dan sengsara seperti ini."

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Saya dengan kemewahan dan kesenangan yang saya rasakan sekarang ini tergolong penjara apabila dibandingkan dengan kesenangan surga. Sedangkan engkau dengan kesengsaraan yang engkau rasakan sekarang ini tergolong surga bila dibandingkan adzab neraka."

Lantas orang Yahudi tersebut mengucapkan "Asyhadu an laa Ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah" (Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang haq untuk diibadahi kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah), akhirnya ia masuk Islam.

Orang mukmin dalam kebaikan bagaimanapun keadaannya, dialah yang bisa meraup keuntungan di dunia dan akhirat kelak. Sedangkan orang kafir berada dalam keburukan dan dialah yang mendapat kerugian di dunia ini dan di akhirat kelak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran." (Al-'Ashr: 1-3)

Orang-orang kafir dan orang-orang yang mengabaikan agama Allah serta orang-orang yang binasa dalam kesenangan dan kemewahan, meskipun mereka membangun dan memancang istana dengan harta benda dunia yang berkilauan, pada hakikatnya mereka berada dalam neraka.

Sampai sebagian kaum Salaf berkata, "Andai saja para raja dan anak-anak raja mengetahui kesenangan yang kita rasakan, niscaya mereka akan menyerang kita dengan pedang mereka.

Adapun orang mukmin hidup senang dengan bermunajat kepada Allah dan mengingat-Nya. Mereka meyakini ketentuan Allah dan taqdir-Nya. Jika mereka ditimpa musibah, mereka bersabar dan jika mereka memperoleh kesenangan mereka bersyukur Mereka berada dalam puncak kebahagiaan. Beda halnya dengan orang-orang yang tamak pada dunia, keadaan mereka seperti digambarkan Allah dalam firman Nya,

"Jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya dengan serta merta mereka menjadi marah." (At-Taubah: 58)

Adapun merujuk kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah tsabit di hadapan kita -Alhamdulillah- tetap terjaga. Para ulama memaparkan hadits beliau dengan menjelaskan pula hadits-hadits yang didustakan atas nama beliau. Alhamdulillah, Sunnah tetap terang dan terpelihara. Siapapun bisa mengakses hadits Nabi, seperti dengan muraja'ah jika itu memungkinkan. Jika tidak maka dengan bertanya kepada para ulama. Apabila ada orang bertanya,

"Bagaimana caranya anda bisa memadukan antara ucapan yang anda katakan tadi dengan merujuk kepada Al-Qur'an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam padahal kita temui sebagian orang mengikuti kitab-kitab yang disusun dalam berbagai madzhab seraya mengatakan, "Saya bermadzhab A, saya bermadzhab B, saya bermadzhab C!!!" Sampai anda berfatwa kepada seseorang lantas anda katakan kepadanya, "Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda demikian." Lalu dia berkata, "Saya bermadzhab Hanafi, saya Maliki, saya Hanbali……” Atau dengan ungkapan yang serupa."

Jawabannya, "Kita katakan kepada mereka: Kita semua mengucapkan "Asyhadu Anlaa ilaha Ilallah wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah" (Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Lalu apa makna syahadat "Muhammadan Rasulullah?" Para ulama menyatakan bahwa makna syahadat tersebut adalah mentaati apa yang beliau perintahkan, membenarkan apa yang beliau beritakan dan menjauhkan diri dari apa yang beliau cegah dan larang serta tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syari'atkan,"

Jika ada orang yang mengatakan, "Saya bermadzhab A, saya bermadzhab B, saya bermadzhab C," Maka kita katakan kepada orang tersebut, "Ini sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka janganlah engkau membantahnya dengan ucapan siapapun." Para imam madzhab juga melarang taqlid murni kepada mereka. Mereka berkata, "Kapanpun kebenaran tampak maka wajib rujuk kepadanya." Setelah itu kita katakan kepada orang yang membantah kita dengan madzhab A dan B, "Kami dan anda bersyahadat bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Konsekuensi syahadat ini agar kita mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja."

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan kita jelas dan terang tapi saya tidak bermaksud dengan ungkapan ini untuk meremehkan arti penting merujuk pada kitab-kitab ahli fiqih dan kitab-kitab ulama lainnya. Bahkan (sebaliknya), merujuk kepada kitab-kitab mereka untuk mengambil manfaat dari mereka. Dan untuk mengenal metode mereka dalam ber-istinbat terhadap hukum-hukum syari'at dari dalil-dalilnya termasuk perkara yang tidak mungkin tercapai melainkan dengan merujuk kepada kitab-kitab tersebut.

Oleh karena kita dapati orang-orang yang tidak mendalami ilmu melalui didikan para ulama, mereka terjerumus ke dalam banyak ketergelinciran sehingga memandang suatu masalah dengan pandangan yang sempit dari apa yang selayaknya mereka telaah. Mereka mengkaji -sebagai contoh- Shahih Al-Bukhari lalu mereka berpendapat dengan hadits-hadits yang termaktub di dalamnya padahal dalam hadits-hadits tersebut terdapat hukum yang sifatnya umum dan khusus, mutlak (tidak terikat) dan muqayyad (terikat) dan apa yang telah di-mansukh (dicabut pemberlakuannya). Tapi mereka tidak mendapatkan petunjuk untuk mendapatkan hal tersebut. Maka terjadilah kesesatan yang besar.


11.Tatsabut (meneliti kebenaran) dan Tsabat (konsisten)

Diantara adab yang seorang penuntut ilmu wajib berhias dengannya adalah tatsabut dengan berita-berita yang akan dirujuk. Demikian pula dengan hukum hukum yang akan ditetapkan. Apabila mengambil sebuah berita maka engkau harus mengkonfirmasinya secara teliti lebih dahulu, apakah berita yang kau ambil itu shahih atau tidak. Jika berita itu shahih, jangan lantas engkau menetapkannya akan tetapi periksa dahulu hukumnya dengan teliti.

Boleh jadi berita yang engkau dengar dilandasi suatu kaidah ushul yang tidak engkau ketahui, lantas engkau menghukumi bahwa itu keliru, padahal pada kenyataannya hal itu bukan suatu kekeliruan. Lalu bagaimana solusi situasi semacam ini? Solusinya adalah engkau menghubungi orang yang dinisbatkan sebagai nara sumber berita itu, lalu engkau katakan, "Dinukil dari anda (berita) ini dan itu, apakah ini benar?" Setelah itu engkau berdialog langsung dengannya. Boleh jadi pada awalnya engkau tidak menyukai karena engkau tidak mengetahui sebab penukilannya. Sehingga,

"Jika diketahui sebab, hilanglah keheranan (kebingungan)."

Maka terlebih dahulu harus dilakukan tatsabut (terhadap sumber berita), baru kemudian menghubungi sumber berita itu. Engkau tanyakan kepadanya apakah berita itu benar atau tidak, setelah itu berdiskusi dengan orang itu. Bisa jadi dia yang benar maka engkau bisa merujuk kepadanya atau bisa jadi engkau yang benar sehingga dia bisa merujuk kepadamu.

Ada perbedaan antara Tsabat dan tatsabut. Secara lafadz dua kata ini memiliki kemiripan, namun berbeda dari segi makna.

Tsabat maknanya sabar dan tekun, tidak merasa jemu, tidak gelisah dan tidak mengambil sedikit-sedikit dari setiap kitab atau sepotong-potong dari setiap disiplin ilmu lalu meninggalkannya. Karena hal ini (justru) akan merugikan penuntut ilmu itu sendiri. la menghabiskan waktu tanpa mendapat satu manfaat. Contohnya, sebagian penuntut ilmu membaca pembahasan ilmu nahwu, kadang dia membaca Al-Jurumiyah, kadang membaca kitab Qatrunada, kadang membaca kitab Al-Alfiah. Demikian pula dengan pelajaran Al-Musthalah (ilmu istilah-istilah hadits), sesekali membaca An-Nukhbah, sesekali membaca Al-Alfiah Al-Iraqi.

Demikian pula dalam masalah fiqih, sesekali membaca Zaadul Mustaqni, sesekali membaca Umdatul Fiqih, sesekali membaca Al-Mughni dan sesekali membaca Syarah Al-Muhadzab. Demikian seterusnya pada seluruh kitab (padahal belum ada yang diselesaikan secara tuntas).

Orang tipe ini sering kali tidak akan memperoleh ilmu. Kalaupun memperolehnya, ilmu yang diperoleh adalah ilmu masa'il (yang berkaitan dengan pembahasan masalah/kasus) bukan dalam hal ushul (konsep dasar ilmu). Dan perolehan berbagai permasalahan bagaikan orang yang mengumpulkan belalang satu demi satu.

Jadi, ta'sil (pengambilan konsep dasar ilmu), keteguhan serta kemantapan pada suatu ilmu adalah sesuatu yang penting, lebih mantap dalam hubungannya dengan kitab yang dibaca dan di-muraja'ah. Demikian juga lebih mantap dalam hubungannya dengan para syaikh yang engkau ambil ilmunya.

Janganlah engkau menjadi pencicip ilmu (yang mengambil ilmu sepotong-potong) pada tiap pekan sekali atau sebulan sekali dari seorang syaikh. Tentukan terlebih dahulu syaikh (guru) yang akan engkau timba ilmunya. Setelah engkau mengambil keputusan maka sabar dan tekunilah. Janganlah engkau mengambil syaikh lain pada setiap bulan atau pekan. Sama saja apakah engkau ambil syaikh itu dalam pelajaran fiqih dan terus kontinyu belajar bersamanya dalam pelajaran fiqih, (engkau belajar) dengan syaikh yang lain dalam pelajaran nahwu dan terus bersamanya dalam pelajaran nahwu.

Atau dengan syaikh lainnya dalam pembahasan aqidah dan tauhid dan terus belajar bersamanya. Hal yang penting, hendaknya engkau terus belajar dan jangan hanya menjadi sekedar pencicip (berbagai macam ilmu), seperti halnya seorang lelaki yang hobi cerai. Setiap kali menikahi seorang wanita setelah hidup bersamanya 7 hari, kemudian dia mentalaknya dan pergi mencari wanita lain.

Tatsabut juga merupakan perkara yang penting, sebab terkadang orang yang menukil berita mempunyai kehendak yang lidak baik. Dia menukil suatu berita yang dapat mencemarkan nama baik orang yang diambil beritanya baik dengan sengaja atau dengan tendensi tertentu. Terkadang mereka tidak berniat jahat namun mereka memahaminya dengan sesuatu yang berbeda dengan makna yang diinginkan. Oleh karena itu wajib tatsabut.

Apabila sesuatu yang dinukil tersebut telah tsabit dengan penyebutan sanadnya maka sampailah giliran untuk betdiskusi dengan orang yang menukilkannya sebelum menghukumi pernyataan tersebut, apakah hal itu benar atau tidak. Sebab boleh jadi akan tampak kebenaran bagimu setelah dilakukan diskusi, bahwa kebenaran berada di pihak orang yang dinukil ucapannya.


12. Berantusias memahami makna yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.

Masalah pemahaman termasuk perkara penting dalam menuntut ilmu. Maksudnya pemahaman seperti yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Pasalnya banyak orang yang diberi ilmu namun mereka tidak diberi kepahaman.

Tidaklah cukup engkau menghafal Al-Qur'an dan menghafal beberapa hadits Rasulullah yang ringan (dalam menghafal) tanpa dibarengi dengan pemahaman. Maka mau tidak mau engkau hams memahami sesuai dengan apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Betapa banyak terjadi kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang. Mereka berdalil dengan nash-nash (Al-Qur'an dan As-Sunnah) tidak dengan apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya sehingga muncul kesesatan.

Di sini saya ingin menegaskan suatu poin penting, yaitu bahwa kesalahan dalam pemahaman boleh jadi jauh lebih berbahaya dibandingkan kesalahan karena kejahilan (kebodohan). Sebab orang yang berbuat salah lantaran kebodohan dia akan sadar bahwa dia bodoh sehingga dia akan belajar.

Tetapi orang yang pemahamannya salah dia meyakini bahwa dirinya adalah orang pandai yang mencocoki kebenaran. Dia meyakini bahwa inilah yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Kami akan sajikan beberapa contoh agar jelas bagi kila tentang pentingnya pemahaman.

Contoh pertama:

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surat Al-Anbiya' ayat 78-79,

"Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya."

Allah ‘Azza wa Jalla telah mengutamakan Sulaiman di atas Dawud dalam perkara ini karena pemahaman yang beliau miliki.

"Maka kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman."

Tetapi tidak ditemukan kekurangan ilmu (yang dimiliki) Dawud.

"Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu."

Perhatikanlah ayat yang mulia ini tatkala Allah menyebutkan keistimewaan yang dimiliki Sulaiman yaitu berupa pemahaman. Allah juga menyebutkan keistimewaan yang dimiliki Dawud dalam Firman-Nya,

"Dan Kami telah tundukkan gunung-gunung, semua bertasbih kepada Dawud."

Penyebutan tersebut bermaksud agar terwujud keseimbangan (dari segi keistimewaan atau keutamaan) dari tiap Nabi tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan hukum dan keilmuan yang dimiliki oleh keduanya.

Kemudian Allah menyebutkan keistimewaan yang dimiliki masing-masing dibanding yang lainnya. Perkara tersebut menunjukkan kepada kita betapa pemahaman memiliki kedudukan yang sangat urgen dan bahwa ilmu bukanlah segalanya.

Contoh kedua:

Apabila engkau memiliki dua bejana, salah satu berisi air hangat sedangkan bejana lain berisi air dingin membeku. Saat itu musim dingin. Lalu datanglah seorang lelaki yang ingin mandi janabat (mandi besar). Ada sebagian orang berkata, yang lebih utama adalah engkau memakai air dingin sebab memakai air dingin terdapat kesulitan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat kalian?" Mereka berkata, "Mau, ya Rasululluh." Beliau bersabda, "Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit." 29

Maksudnya adalah menyempurnakan wudhu pada musim dingin. Apabila engkau telah menyempurnakan wudhu dengan air dingin maka hal itu lebih utama daripada wudhu dengan air hangat, yang sesuai dengan keadaan cuaca.

Seseorang telah berfatwa bahwa menggunakan air dingin lebih utama. Dia berdalil dengan hadits di atas. Apakah kesalahan tersebut terletak pada ilmunya ataukah pada pemahamannya? Jawabannya, kesalahan itu terjadi pada pemahaman karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Sempumakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit"

Beliau tidak mengatakan, "Engkau pilih air dingin untuk berwudhu." Bedakan kedua ungkapan tersebut. Kalau saja yang diungkapkan dalam hadits tersebut adalah ungkapan kedua, tentunya kita katakan, "Ya, pilihlah air dingin." Akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit."

Maksudnya, dinginnya air tidak menghalangi seseorang untuk menyempurnakan wudhu. Selanjutnya kita katakan, "Apakah Allah menghendaki kemudahan atau kesulitan bagi hamba-Nya?" Jawabannya terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." (Al-Baqarah: 185)

Dan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

"Sesungguhnya agama itu mudah." 30

Saya katakan kepada penuntut ilmu, sesungguhnya perkara pemahaman ini sangat penting. Kita wajib memahami apa yang Allah kehendaki dari para hambanya. Apakah Allah hendak menyulitkan hamba-hamba-Nya dalam pelaksanaan ritual ibadah ataukah Allah menghendaki kemudahan bagi mereka?! Tidak disangsikan lagi bahwa Allah ‘Azza wa jalla menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan bagi kita.

Inilah sebagian adab santun dalam menuntut ilmu. Adab-adab Ini seyogyanya bisa memberikan pengaruh bagi ilmu yang dimiliki seorang pelajar sehingga ia menjadi qudwah (teladan) yang baik dan menjadi da'i yang mengajak kepada kebaikan dan bisa menjadi contoh dalam agama Allah ‘Azza wa jalla. Dengan kesabaran dan keyakinan engkau akan meraih keimaman (kepemimpinan) dalam agama ini. Sebagaimana Firman Allah ‘Azza wa jalla,

"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami." (As-Sajdah: 24)
________________________________

21. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Wudhu Bab: Shabbul Ma’i ‘alal Bauli fil Masjidi (Menyiram Air Kencing yang ada di dalam Masjid) dan Muslim dalam Kitabut Thaharah Bab: Wujubi Ghaslil Bauli (Wajibnya Mencuci Air Kencing).

22. HR. Muslim dalam Kitabul Masajid wa Mawadhi'ush Shalat Bab: Tahrimul Kalam fi Shalat (Larangan Berbicara saat Shalat).

23. HR. Muslim dalam Kitabul Libas Bab: Tahrimul Khatami Dzahab 'ala Rijal (Haramnya Cincin Emas bagi Laki-laki).

24. HR. Imam Ahmad juz 3 hal. 198 dan At-Tirmidzi dalam Kitab Shifatul Qiyamah juz 4 hal. 569 no. 2499, Ibnu Majah dalam Kitabuz Zuhud Bab: Dzikru Taubat, Ad-Darimi dalam Kitab Ar-Riqaq Bab Fit Taubah, Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah juz 5 hal. 92, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah juz 6 hal. 332, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak juz 4 hal. 273, Al-'Ajluni dalam Kasyful Khafa' juz 2 hal. 120. Al-Hakim berkata: "Sanad hadits ini shahih namun Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya." (Al-Mustadrak juz 4 hal. 273). Berkata Al-‘Ajluni: "Sanadnya kuat." Juz hal. 120.

25. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Masajid Bab: Tasybiqul Ashabi'i fil Masjidi wa Ghairihi dan Muslim Kitabul Birri wa Shilah Bab: Tarahumil Mu'minin wa Ta'athufihim wa Ta'adhudihim.

26. Telah lewat takhrij-nya di hal. V).

27. HR. Muslim dalam Kitabuz Zuhud Bab: Al-mu’minu Amruhu kulluhu Khairun.

28. HR. Muslim dalam Kitabuz Zuhud.

29. HR. Muslim dalam Kitabut Thaharah Bab: Fadlu Isbaghil Wudhu ‘alal Makarih.

30. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman Bab: Ad-Dinu Yusrun.

[Dari: Kitabul ‘Ilmi; Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin; Edisi Indonesia: Tuntunan Ulama Salaf Dalam Menuntut Ilmu Syar’i; Hal: 35-59; Cetakan Pertama, Rabi’ul Awwal 1427 H/ April 2006 M; Penerjemah: Abu Abdillah Salim bin Subaid; Penerbit: Pustaka Sumayyah]

Selasa, Juli 01, 2008

Adab Santun Penuntut Ilmu (1)

بسم الله الر حمن الر حيم

PASAL PERTAMA
ADAB SANTUN PENUNTUT ILMU


Seorang penuntut ilmu harus berakhlak dengan berbagai adab santun. Kami akan paparkan beberapa diantaranya:

1. Mengikhlaskan niat untuk Allah ‘Azza wa Jalla.

Tujuan dalam menuntut ilmu adalah untuk (mengharapkan) wajah Allah dan untuk (memperoleh kebaikan) kehidupan akhirat. Allah telah menganjurkan dan memberikan motivasi untuk menuntut ilmu di dalam firman-Nya,

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang haq untuk diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampun atas dosamu." (Muhammad: 19)

Pujian terhadap ulama di dalam Al-Qur'an telah cukup dikenal. Apabila Allah memuji sesuatu atau memerintahkannya, maka hal tersebut menjadi suatu amaliah ibadah. Jika demikian maka dalam menuntut ilmu wajib untuk mengikhlaskan diri hanya bagi Allah, yaitu dengan jalan seorang harus meniatkan (mengharapkan) wajah Allah. Jika seseorang meniatkan dalam menuntut ilmu syari'at itu untuk meraih ijazah yang akan dia gunakan untuk mencapai suatu kedudukan ataupun status tertentu, maka sesungguhnya Rasulullah bersabda,

"Barangsiapa mempelajah ilmu yang diharapkan dengannya wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta dunia maka dia tidak akan mencium wangi surga di Hari Kiamat." 12

Maksudnya adalah mencium baunya. Dan ini merupakan ancaman yang keras. Tapi jika ada seorang penuntut ilmu yang mengatakan saya ingin memperoleh ijazah bukan lantaran ingin mendapatkan bagian dari harta dunia akan tetapi sistem (yang ada) menjadikan ukuran seorang ulama adalah ijazahnya. Kami katakan, jika seseorang berniat memperoleh ijazah dalam rangka memberi kemanfaatan kepada orang lain baik dalam bidang pengajaran, administrasi, atau dalam bidang lainnya maka hal tersebut merupakan niatan yang lurus, tidak membahayakan dirinya sedikitpun, karena niatan tersebut benar.

Kita mengulas faktor keikhlasan di awal pembahasan adab-adab penuntut ilmu tidak lain karena keikhlasan merupakan hal yang prinsipil. Maka penuntut ilmu wajib meniatkan amalannya dalam rangka menunaikan perintah Allah. Karena Allah memerintahkan dalam firman-Nya,

"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang haq untuk diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampun atas dosamu." (Muhammad: 19)

Allah memerintahkan untuk berilmu, maka jika engkau mempelajari ilmu berarti engkau telah menunaikan perintah Allah.


2. Menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.

Ketika seseorang menuntut ilmu hendaknya diniatkan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain. Karena asal muasal manusia adalah bodoh. Dalil hal tersebut adalah firman Allah,

"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan kamu tidak mengetahui sesuatupun dan Allah memberikanmu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur." (An-Nahl: 78)

Realita membuktikan demikian, maka engkau harus meniatkan (dalam menuntut ilmu adalah) untuk menghilangkan kebodohan dari dirimu. Dengan demikian engkau akan mendapatkan rasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama." (Fathir: 28)

Jadi, engkau harus berniat menghilangkan kebodohan dari dirimu, karena pada dasarnya dalam dirimu tersimpan kebodohan. Jika engkau belajar engkau akan menjadi orang yang berilmu dan kebodohanmu akan hilang.

Demikian pula engkau meniatkan (dengan belajar itu) untuk menghilangkan kebodohan dari umat ini. Hal tersebut dapat dicapai dengan ta'lim (proses belajar mengajar) atau dengan berbagai macam cara agar orang lain bisa menimba manfaat dari ilmumu. Apakah termasuk syarat mengambil manfaat ilmu adalah dengan cara duduk di masjid dalam suatu halaqah ataukah mengambil manfaat ilmu tersebut pada semua kondisi?

Jawabnya: dengan (jawaban) kedua. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat." 13

Apabila engkau mengajarkan ilmu kepada seseorang kemudian orang itu mengajarkan kepada orang lain, maka engkau akan mendapatkan pahala dua orang. Apabila orang ketiga mengajarkan kepada orang lain, engkau akan mendapatkan pahala tiga orang. Demikian seterusnya.

Tergolong perbuatan bid'ah apabila seseorang menunaikan suatu ibadah lalu mengucapkan, "Ya Allah, jadikan pahala ibadah ini untuk Rasulullah." Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang telah mengajari dan menunjukimu, maka (secara otomatis) beliau akan mendapatkan pahala seperti pahalamu.

Imam Ahmad rahimahullah berkata,
"Ilmu, tidak ada satu pun yang dapat menandinginya bagi orang yang lurus niatnya." Para muridnya bertanya, "Mengapa demikian?" Beliau menjawab, "(Karena) ia berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain."

Sebab pada dasarnya kebodohan melekat pada diri mereka sebagaimana kebodohan itu merupakan sifat dasar yang melekat pada dirimu. Apabila engkau belajar dalam rangka rnenghilangkan kebodohan dari umat ini berarti engkau digolongkan dalam deretan orang yang berjihad di jalan Allah dan menyebarkan agama-Nya.


3. Membela Syari'at.

Dengan menuntut ilmu ia juga mempunyai niat untuk membela syari'at (Islam). Sebab kitab-kitab tidak dapat membela syari'at (secara langsung) dan pembelaan syari'at ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang mengembannya. Jika seorang Ahlul Bid'ah datang ke suatu perpustakaan yang dipenuhi berbagai macam kitab syari'at yang tidak terhitung jumlahnya, lalu dia berbicara dengan kebid'ahan dan mengikrarkannya maka saya yakin tidak akan ada satu kitab pun yang akan membantahnya. Lain halnya jika Ahlul Bid'ah tersebut berbicara dengan kebid'ahannya di hadapan seorang yang berilmu (ulama) untuk mengikrarkan kebid'ahannya, tentu penuntut ilmu tersebut akan membantah dan menghabisi ucapannya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu harus meniatkan belajarnya untuk membela syari'at.

Pembelaan terhadap syari'at Islam tidak mampu dilakukan kecuali oleh orang-orang yang memiliki senjata. Apabila kita memiliki berbagai macam senjata yang telah memenuhi gudang persenjataan apakah senjata-senjata itu sanggup dengan sendirinya menembakkan pelurunya kepada musuh? Ataukah tidak bisa kecuali dengan orang yang menggerakkannya?

Jawabannya: perbuatan itu (menyerang musuh dengan senapan) tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang menggunakannya. Demikian juga dengan ilmu. Sesungguhnya bid'ah yang baru akan terus muncul, terkadang terjadi bid'ah-bid'ah yang tidak muncul pada zaman dahulu dan bid'ah-bid'ah tersebut tidak terdapat dalam kitab-kitab (buku-buku), sehingga tidak mungkin membela syari'at ini kecuali dilakukan oleh penuntut ilmu.

Oleh karena itu saya katakan, sesungguhnya termasuk hal-hal yang wajib untuk diperhatikan oleh penuntut ilmu adalah masalah pembelaan syari'at ini. Dengan demikian manusia berada dalam kondisi sangat butuh kepada ulama, dalam rangka mengkonter tipu daya Ahlul Bid'ah dan segenap musuh-musuh Allah. Hal itu tidaklah bisa terealisasi kecuali dengan ilmu syari'at yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.


4. Berlapang dada dalam masalah khilafiyah (perbedaan pendapat).

Hati seorang penuntut ilmu harus lapang dalam masalah perbedaan pendapat yang bersumber dari proses ijtihad. Sebab masalah perbedaan pendapat di kalangan ulama bisa jadi tergolong masalah yang tidak ada lagi tempat untuk berijtihad dalam masalah tersebut. Sebab titik masalahnya sudah jelas (gamblang) sehingga tidak seorangpun memperoleh udzur (alasan) untuk menyelisihinya.

Bisa jadi masalah tersebut adalah masalah yang masih terbuka pintu ijtihad di dalamnya, sehingga seseorang bisa diterima alasannya jika menyelisihi (pendapat yang lain) dalam masalah itu. Bukan berarti ucapanmu akan menjadi bumerang bagi orang yang menyelisihimu, sebab kalau kita menerima (konsep) itu maka tentunya kita akan katakan dengan yang sebaliknya ucapannya (bisa) menjadi bumerang atasmu. Berdasarkan hal tersebut, saya mengingatkan bahwa akal tidak mempunyai tempat dalam masalah ini, sehingga orang-orang tidak mempunyai kelonggaran untuk berselisih paham dalam masalah tersebut.

Adapun orang-orang yang menyelisihi jalan kaum Salaf seperti (dalam) masalah-masalah aqidah, maka dalam masalah ini penyelisihan yang dilakukan seseorang yang berbeda dengan yang diyakini oleh Salafus Shalih tidak bisa ditolerir. Tapi pada masalah-masalah lain yang ada tempat bagi akal untuk berperan di dalamnya, maka tidak sepatutnya untuk menjadikan perbedaan pendapat tersebut sebagai bahan cemoohan pada orang lain. Dan tidak sepatutnya untuk menjadikan hal tersebut sebagai pemicu terjadinya permusuhan dan kebencian.

Para shahabat radhiyallahu ‘anhum, saling berbeda pendapat dalam banyak masalah. Dan siapa yang ingin mengetahui perbedaan pendapat di kalangan mereka hendaklah ia merujuk atsar-atsar yang menuturkan tentang (keadaan) rnereka. Akan dijumpai adanya perbedaan pendapat dalam berbagai masalah. Permasalahan mereka lebih besar dibandingkan dengan masalah-masalah yang diangkat oleh orang-orang pada zaman ini sebagai isu-isu untuk berbeda pendapat, sehingga orang-orang menjadikan perbedaan itu sebagai bentuk pengkotak-kotakan massa. Mereka mengatakan, "Saya seide dengan Fulan, saya satu haluan dengan Fulan." Seolah-olah masalah ini adalah masalah penggolong-golongan (antara satu kelompok dengan kelompok lain). Ini adalah suatu kekeliruan.

Contoh dari hal tersebut, ada seseorang mengatakan, "Jika engkau bangkit dari ruku' janganlah engkau letakkan tangan kananmu di atas tangan kirimu, tapi lepaskanlah kedua tanganmu ke arah sisi kedua belah pahamu. Jika engkau tidak mengerjakan ahli bid'ah bukan suatu perkara yang remeh. Apabila ada orang yang mengatakan itu padaku maka akan timbul ketidaksukaan dalam dadaku sebab kita adalah manusia biasa.

Kita katakan, dalam permasalahan ini terdapat kelonggaran, seseorang mungkin untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya atau melepaskan kedua tangannya. Oleh karenanya Imam Ahmad memberikan alternatif untuk memilih apakah ia meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya ataukah melepaskannya. Sebab perkara dalam persoalan ini cukup longgar.

Tapi amalan manakah yang merupakan sunnah dalam masalah ini? Jawabannya: Yang sunnah adalah engkau meletakkan tangan kananmu di atas tangan kirimu jika engkau bangkit dari ruku', sebagaimana engkau meletakkannya tatkala berdiri. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Sahal bin Sa'ad, beliau berkata, "Dulu orang-orang menyuruh mereka yang mengerjakan shalat untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kirinya." 14

Silahkan engkau perhatikan, apakah beliau kehendaki hal itu (menaruh lengan kanan di atas lengan kiri) ketika sujud, ketika ruku', ataukah ketika duduk? Tidak, namun yang dikehendaki beliau adalah ketika dalam keadaan berdiri, baik berdirinya itu sebelum ruku' atau sesudahnya.

Jadi kita wajib untuk tidak menjadikan perbedaan pendapat yang muncul di kalangan ulama sebagai pemicu perpecahan dan persengketaan di antara umat Islam. Sebab kita semua mendambakan kebenaran dan kita semua menjalankan apa yang dipahami dari proses ijtihad mereka. Selama masih sebatas itu, maka kita tidak diperkenankan untuk menjadikan hal tersebut sebagai pemicu permusuhan dan perpecahan di antara ulama. Sebab perbedaan pendapat itu senantiasa muncul di kalangan ulama, bahkan pada zaman Nabi sekali pun. Kalau begitu, penuntut ilmu berkewajiban untuk bersatu padu dan mereka tidak menjadikan perbedaan pendapat semacam ini sebagai sebab untuk saling menjauhi dan saling membenci satu sama lain.

Sebaliknya, yang wajib jika engkau berbeda pendapat dengan rekanmu berdasar kandungan dalil yang engkau pegang dan dia berbeda pendapat denganmu berdasarkan dalil yang dia pegang, hal itu justru akan menjadikan kalian berada di atas jalan yang sama dan kecintaan di antara kalian berdua pun akan semakin bertambah.

Oleh karena itu kami merasa bersuka cita dan menyambut gembira terhadap generasi muda kita yang memiliki kecenderungan besar untuk mengadakan studi banding terhadap berbagai macam masalah dengan menyodorkan dalil-dalil dan adanya kecenderungan besar untuk membangun ilmu mereka di atas Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kami memandang bahwa fenomena tersebut merupakan pertanda baik dan kabar gembira pun akan ia rasakan dengan dibukanya pintu-pintu ilmu dari jalur-jalur yang benar. Dan kita tidak menghendaki mereka menjadikan fenomena tersebut sebagai pemicu proses pengkotakan massa dan penanaman kebencian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka." (Al-An'am: 159)

Kami tidak menyepakati perbuatan orang-orang yang menjadikan diri mereka menjadi bergolong-golong dan masing-masing fanatik pada golongannya. Sebab golongan Allah hanyalah satu. Kami pun memandang bahwa perbedaan paham lain dan tidak pula mendorong mereka untuk menjatuhkan kehormatan saudaranya. Para penuntut ilmu wajib menjadi orang-orang yang bersaudara kendati mereka berselisih paham dalam sebagian perkara furu' (cabang) dan hendaknya satu sama lain mengajak dengan cara yang tenang dan bertukar pikiran (diskusi) dengan tujuan mencari wajah Allah dan tercapainya target ilmu.

Dengan sikap lembut akan terjalin persatuan. Fenomena kerusakan dan sifat arogan pada sebagian orang akan hilang. Terkadang hal tersebut sampai menyeret mereka pada pertengkaran dan permusuhan. Dan itu tidak diragukan lagi akan membuat musuh-musuh kaum muslimin bersorak gembira. Dan perselisihan yang terjadi di antara umat Islam tergolong aspek yang paling merugikan umat Islam sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (Al-Anfal: 46)

Para shahabat radhiyallahu ‘anhum saling berbeda pendapat pada masalah-masalah semacam ini. Tapi mereka tetap berada di atas satu hati, di atas cinta kasih dan tetap bersatu. Bahkan saya akan katakan secara terus terang, apabila seseorang berbeda pendapat denganmu dengan dalil yang dia pegang, sebenarnya orang tersebut adalah mencocokimu. Sebab masing-masing dari kalian berdua adalah pencari kebenaran. (Alasan) berikutnya, tujuan kalian pun sama yaitu tercapainya target kebenaran yang berasal dari dalil.

Jika demikian halnya, maka orang tersebut tidak berbeda pendapat denganmu, selama engkau mengakui bahwa dia berbeda pendapat denganmu dengan dalil yang dia pegang. Lalu dimana (letak) perbedaan pendapatnya? Dengan cara ini umat akan tetap bersatu padu, meskipun mereka berbeda pendapat dalam beberapa masalah lantaran adanya dalil yang dipegang oleh masing-masing dari mereka.

Adapun orang yang keras kepala dan membantah setelah tampak kebenaran, maka tidak disangsikan lagi bahwa orang tersebut harus disikapi dengan cara yang setimpal dengan perbuatannya setelah (tampak) pembangkangan dan penyimpangannya. Setiap keadaan memiliki peringatan yang disesuaikan dengan kondisinya.


5. Mengamalkan ilmu.

Seorang penuntut ilmu hendaknya mengamalkan ilmunya, baik yang berhubungan dengan perkara aqidah, akhlak, adab sopan santun dan pergaulan dengan orang lain. Sebab amal adalah buah dan hasil ilmu. Seorang pembawa ilmu bagaikan orang yang membawa senjata. Bisa jadi ilmu tersebut membawa dampak positif bagi dirinya atau malah membawa dampak negatif. Oleh karena itu telah tsabit (tetap) dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bahwa beliau bersabda,

"Al-Qur'an itu bisa menjadi pembela bagimu atau menjadi bencana bagimu." 15

Menjadi pembela bagimu jika engkau tidak mengamalkannya. Demikian pula pengamalan hadits Nabi yang shahih dilakukan dengan cara membenarkan berita dan menjalankan hukum-hukumnya.

Jika datang berita dari Allah dan Rasul-Nya maka benarkan dan ambillah dengan penerimaan dan kepatuhan. Janganlah engkau katakan kenapa begini atau bagaimana ini? Sebab cara penyikapan seperti itu bukan jalan orang-orang beriman. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

"Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." (Al-Ahzab: 36)

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menceritakan kepada shahabatnya beberapa perkara yang merupakan sesuatu yang aneh dan jauh dari pemahaman mereka. Tetapi mereka tetap menerimanya. Mereka tidak berkomentar kenapa atau bagaimana? Berbeda dengan penyikapan yang dilakukan orang-orang belakangan dari umat ini.

Kita dapati salah seorang dari mereka jika diberitakan sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam akalnya merasa bingung lalu kita temui orang tersebut mengemukakan berbagai alternatif yang diharapkan dapat menghilangkan kebingungannya. Dia menunjukkan keberatannya dan sebaliknya tidak berusaha mencari kejelasan. Oleh karena itu dia akan terhalang dari taufiq Allah, walau telah disampaikan hadits Rasulullah kepadanya. la enggan menerima dan tunduk pada hadits tersebut. Saya akan membawakan sebuah contoh tentang hal tersebut.

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

"Rabb kita turun ke langit dunia, tatkala tersisa sepertiga malam terakhir, lain Dia berfirman: Barangsiapa berdo'a kepada-Ku Aku akan mengabulkannya, barangsiapa meminta kepada-Ku Aku akan memberinya, dan barangsiapa memohon ampun kepada-Ku Aku akan mengampuninya." 16

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah menuturkan hadits tersebut. Hadits itu masyhur bahkan mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan). Tiada seorang shahabat pun yang angkat bicara dan bertanya, wahai Rasulullah bagaimana Allah turun? Apakah Arsy-Nya akan kosong ataukah tidak? Dan lain sebagainya. Namun kita dapati sebagian orang memperbincangkan perkara semacam ini, bagaimana Allah di atas Arsy-Nya sedangkan Dia turun ke langit dunia? Dan lontaran-lontaran serupa yang mereka kemukakan.

Andai saja mereka mau menerima hadits ini lantas mereka mengatakan, Allah ‘Azza wa Jalla bersemayam di atas Arsy-Nya. Sifat ketinggian termasuk keharusan dari Dzat-Nya. Allah turun sebagaimana yang Dia subhanahu wa ta’ala kehendaki. Tentunya syubhat-syubhat tersebut akan tersingkirkan dari diri mereka. Mereka tidak lagi merasa bingung dengan perkara-perkara yang diberitakan Nabi dari Rabb-nya.

Jika demikian halnya maka kita wajib menerima berita-berita ghaib dari Allah dan Rasul-Nya dengan ketundukan dan kepasrahan. Kita pun tidak menyangkalnya dengan apa yang terlintas dalam benak kita baik dari hal yang bisa dirasakan oleh panca indera atau dengan perkara yang pernah kita lihat. Sebab perkara yang ghaib berada di atas semua itu.

Contoh dalam masalah tersebut banyak sekali dan saya tidak ingin memperpanjangnya. Sikap seorang mukmin terhadap hadits-hadits ini hanyalah menerima dan tunduk dan mengatakan Maha Benar Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah beritakan dalam firman-Nya,

"Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman." (Al Baqarah: 285)

Aqidah (kita) wajib dibangun di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Hendaknya manusia mengetahui bahwa tiada tempat bagi akal dalam hal tersebut. Saya tidak mengatakan tidak ada jalan masuk bagi akal dalam masalah tersebut. Saya hanya mengatakan tidak ada tempat bagi akal dalam masalah tersebut. Sebab apa yang disebuikan oleh nash-nash tentang kesempurnaan Allah adalah sesuatu yang dipersaksikan (diterima) oleh akal. Walaupun akal manusia tidak akan sanggup memahami rincian kesempurnaan Allah. Namun akal bisa memahami bahwa Allah pemilik segala kesempurnaan. Maka mengamalkan ilmu aqidah yang telah Allah karuniakan adalah suatu keharusan. Demikian pula dari segi peribadatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebagaimana kebanyakan kita telah mengetahui bahwa ibadah dibangun di atas 2 prinsip dasar:

1. Ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
2. Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.

Oleh karena itu setiap orang (harus) membangun amalnya di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tidak merekayasa bid'ah dalam agama Allah, baik dari asal muasal ibadah tersebut maupun dalam sifatnya. Oleh karena itu kita katakan bahwa suatu amalan ibadah harus ditentukan oleh syari'at baik dalam bentuk, tempat, waktu maupun sebabnya. Ibadah harus benar-benar ditentukan oleh syari'at dalam perkara-perkara ini seluruhnya. Jika ada orang menetapkan sebuah sebab untuk beribadah kepada Allah tanpa dilandasi dalil maka kita akan membantahnya dan kita katakan amalan ini tidak diterima. Karena dia hams menetapkan bahwa sebab itu berasal dari ibadah tersebut.

Seandainya seseorang mensyari'atkan suatu bentuk peribadatan yang tidak pernah ditentukan oleh syari'at atau mendatangkan sesuatu yang ada pada syari'at namun dengan bentuk yang ia rekayasa sendiri ataupun dengan waktu yang ia tentukan sendiri, kita katakan bahwa ibadah tersebut akan tertolak. Sebab ibadah harus dibangun di atas ajaran syari'at. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari ilmu yang telah Allah subhanahu wa ta’ala ajarkan padamu. Janganlah engkau beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala melainkan dengan ajaran yang telah disyari'atkan-Nya. Para ulama mengungkapkan bahwa hukum asal ibadah adalah terlarang sampai ditemukan dalil yang mensyari'atkannya. Mereka berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan bagi mereka agama yang tidak diizinkan Allah." (Asy Syura': 21)

Mereka berdalil pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang tsabit dalam Ash Shahih (riwayat Muslim) dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,

"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak." 17

Walaupun engkau ikhlas (ketika mengerjakannya) dan engkau ingin agar ibadah tersebut sampai kepada Allah dan engkau ingin sampai pula pada kemuliaan-Nya, akan tetapi jika hal itu dilakukan dengan cara yang tidak disyari'atkan maka amalan itu akan tertolak. Jika engkau menghendaki untuk sampai kepada Allah dari jaian yang tidak Allah tentukan sebagai jalan pengantar kepada-Nya, maka amalan itu tertolak.

Jika demikian, maka seorang penuntut ilmu wajib untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan syari'at yang telah diajarkan oleh Allah tanpa menambah dan mengurangi. Dia tidak mengatakan, "Sesungguhnya perkara yang ingin saya tunaikan untuk beribadah kepada Allah adalah hal yang cocok bagi jiwaku, tenang bagi hatiku dan lapang bagi dadaku." Dia tidak mengatakan ungkapan seperti itu, walaupun kenyataannya memang terjadi. Hendaklah ia menimbang amalan tersebut dengan timbangan syari'at. Jika Al-Qur'an dan As-Sunnah telah mengakuinya, maka ia wajib untuk menerima dengan mata dan kepalanya (mendengar dan mentaati). Jika tidak, maka amalan buruk telah diperindah bagi orang itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

"Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu ia meyakini pekerjaan itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu setan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya." (Fathir: 8)

Seorang penuntut ilmu juga harus mengaplikasikan ilmunya dalam perkara akhlak dan pola interaksi dengan sesama. Ilmu syari'at mengajak kepada semua budi pekerti yang iuhur, baik berupa sifat jujur, menepati janji dan cinta kebaikan kepada orang-orang yang beriman. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

"Tidaklah beriman seorang di antara kalian sampai ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya." 18

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda,

"Barangsiapa ingin dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah (ketika) datang kematiannya dia dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Dan hendaklah ia mendatangi manusia dengan apa yang ia pun suka jika hal itu didatangkan pada dirinya." 19

Banyak manusia yang memiliki ghirah (semangat) dan cinta kepada kebaikan, namun mereka berinteraksi dengan orang lain dengan akhlak yang tidak baik. Kita jumpai orang itu mempunyai perangai yang keras dan kasar, termasuk ketika berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita dapati orang tersebut menggunakan cara-cara yang kasar dan keras.

Perilaku ini menyalahi akhlak yang diperintahkan Allah. Ketahuilah bahwa akhlak yang baik tergolong bentuk amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang paling pantas mengikuti Nabi dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Nabi adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,

"Sesungguhnya di antara orang yang paling cinta diantara kalian kepadaku dan yang paling dekat di antara kalian kepadaku majelisnya pada Hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku pada Hari Kiamat adalah Ats-Tsartsarun, Al-Mutasyaddiqun, dan Al-Mutafaihiqun. Para shahabat bertanya, Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui makna Al-Tasrtsarun yaitu orang yag suka berteriak, sedang Al-Mutasyadiqun adalah orang yang banyak cakap. Lalu apa itu Al-Mutafaihiqun? Maka beliau menjawab, Yaitu orang-orang yang takabur." 20


6. Berdakwah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Seorang penuntut ilmu hendaknya berdakwah kepada Allah dengan ilmunya. Ia berdakwah pada setiap kesempatan baik di masjid, di majelis-majelis, di pasar, dan di setiap kesempatan. Setelah Allah mengangkat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam sebagai Nabi dan Rasul, beliau tidak lantas duduk (diam) di rumahnya akan tetapi beliau menyampaikan dakwah kepada manusia dan melakukan mobilitas dakwah.

Saya tidak menghendaki penuntut ilmu hanya menjadi salinan-salinan kitab. Namun saya menghendaki mereka menjadi ulama yang beramal (dengan ilmu yang mereka miliki).

______________________________________

12. HR. Ahmad juz 2 hal 338, Abu Dawud dalam Kitabul 'Ilmi Bab: Thalabul 'Ilmi li Ghairillah, Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah Bab: Al-Intifa'u bil 'Ilmi wal Amalihi bihi, Hakim dalam Al-Mustadrak juz 1 hal 160, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf juz 8 hal. 543, Al-Ajuri dalam Akhlaqul 'Ulama hal. 142, Akhlaqul Ahlil Qur 'an hal. 128 no. 57. Al-Hakim berkata, "Hadits shahih dan perawinya tsiqah."

13. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Anbiya’ Bab: Maa Dzakara ‘an Bani Israil.

14. HR. Al-Bukhari dalam Kitab Shifatush Shalat Bab: Wadha 'al Yimna 'alal Yusra (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri) dan lafadznya dari Sahal bin Sa'ad berkata: "Manusia disuruh untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri dalam shalatnya."

15. HR. Muslim dalam Kitabul Wudhu’ Bab: Fadhul Wudhu’.

16. HR. Al-Bukhari dalam Kitabut Tahajud Bab: Ad-Du’a wash Shalat minal Lail dan Muslim dalam Kitabus Shalatil Musafirin Bab: At-Targhib fi Du’a wadz Dzikri fi Akhiri Lail.

17. HR. Muslim dalam Kitabul Aqdiyah Bab: Taqdhul Ahkamil Bathilah wa Raddu Muhdatsatil Umur.

18. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman Bab: An-Yuhibba li Akhihi ma Yuhibbu li Nafsihi dan Muslim Kitabul Iman Bab: Ad-Dalil ‘ala Anna min Khishalil Imani An-Yuhibba li Akhihi ma Yuhibbu li Nafsihi minl Khairi.

19. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Al-Imaroh Bab: Al-Amru bil Wafa 'ibi Bai'atil Khulafail Awali fal Awali.

Nashnya berbunyi: Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: "Dahulu kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam suatu perjalanan. Lalu kami singgah dalam suatu tempat. Maka di antara kami ada yang memperbaiki tendanya, ada yang sedang keluar, dan ada yang sedang berada di tempat pengembalaan ontanya. Ketika seorang juru panggil Rasulullah menyeru: As-Sholah Jamiah, maka kami pun berkumpul menuju Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

"Tiada seorang Nabi pun sebelumku melainkan dia akan menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang dia ketahui, dan memberi peringatan kepada mereka dari kejelekan. Sesungguhnya pada umat ini akan selamat generasi awalnya dan musibah akan menimpa generasi akhirnya dan berbagai perkara yang akan kalian ingkari dan akan datang berbagai fitnah yang sebagian melumatkan sebagian yang lainnya, dan akan datang fitnah lalu seorang yang mukmin berkata: "Inilah kebinasaanku." Kemudian tampaklah fitnah tersebut. Lalu datanglah fitnah itu maka seorang mukmin berkata: "Inilah, inilah." Barangsiapa yang cinta untuk dijauhkan dari api neraka dan masuk ke dalam surga, maka hendaklah ajal menjemputnya sedangkan ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Dan hendaklah melakukan perkara yang disukai orang lain sebagaimana diapun menyukai bila perbuatan itu dilakukan terhadapnya, Barangsiapa membai'at seorang pemimpin, lalu ia memberikan bai'at dengan sepenuh hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sekuat tenaga (sesuai dengan kesanggupannya). Dan jika datang (pemimpin) yang lain (minta dibai’at) maka penggallah leher orang itu.”

20. HR. At-Tirmidzi dalam Kitabul Birri wa Shilah Bab: Ma Jaafi Ma 'alil Akhlaq dan Ahmad dengan lafadz: "Seungguhnya orang yang aku sukai adalah yang paling bagus akhlaknya." Juz 2 hal. 189, Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah juz 12 hal. 366, Al-Haitsami dalam Majma‘uz Zawaid, dia berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani, para perawinya shahih.

[Dari: Kitabul ‘Ilmi; Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin; Edisi Indonesia: Tuntunan Ulama Salaf Dalam Menuntut Ilmu Syar’i; Hal: 19-35; Cetakan Pertama, Rabi’ul Awwal 1427 H/ April 2006 M; Penerjemah: Abu Abdillah Salim bin Subaid; Penerbit: Pustaka Sumayyah]

Kamis, Juni 19, 2008

Definisi Ilmu, Keutamaan, dan Hukum Menuntutnya

بسم الله الر حمن الر حيم

PASAL PERTAMA
DEFINISI ILMU


Secara Etimologi (Bahasa)
Ilmu adalah antonim (lawan kata) dari jahl (kebodohan). Ilmu adalah pengetahuan secara pasti tentang suatu obyek sesuai dengan kenyataannya.

Secara Terminologi (Istilah)
Sebagian ulama mengatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan terhadap sesuatu dan merupakan lawan kata dari al-jahl (kebodohan). Sebagian mereka mengatakan bahwa ilmu adalah suatu kata yang terlalu jelas untuk didefinisikan.

Ilmu yang kita maksudkan adalah ilmu syari'at, yaitu ilmu yang Allah turunkan pada Rasul-Nya berupa keterangan-keterangan dan petunjuk. Maka ilmu yang dipuji dan disanjung adalah ilmu wahyu (yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya), sebatas pada ilmu yang Allah turunkan saja. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah akan pahamkan dia dalam agama." 3

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar tidak pula dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya, dia telah memperoleh bagian yang melimpah." 4

Telah dimaklumi bahwa yang diwariskan oleh para Nabi hanyalah ilmu syari'at Allah bukan yang lain. Para Nabi tidak memberikan warisan kepada manusia berupa ilmu perindustrian ataupun yang berhubungan dengan ilmu tersebut.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang di kota Madinah, menjumpai manusia melakukan proses penyerbukan pada pohon-pohon kurma. Beliau berkata dengan suatu ucapan ketika melihat betapa payahnya mereka, yaitu tentang tidak perlunya melakukan penyerbukan terhadap pohon-pohon tersebut, maka mereka pun melaksanakan (apa yang beliau katakan). Mereka pun meninggalkan proses penyerbukan yang sebelumnya mereka lakukan. Akibatnya pohon-pohon kurma itu rusak. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,

"Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian." 5

Andaikata ilmu tersebut adalah ilmu yang terpuji maka tentunya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling tahu tentang ilmu lersebut. Sebab Nabi adalah orang yang paling banyak disanjung dengan ilmu dan amalannya. Jika demikian halnya, maka ilmu syari'at adalah ilmu yang terpuji dan bagi orang yang menguasai dan mengamalkan akan mendapatkan sanjungan.

Namun dengan pernyataan tersebut saya tidak memungkiri bahwa boleh jadi dalam ilmu ilmu tersebut memiliki dua sisi: Apabila llmu llmu tersebut menopang ketaatan kepada Allah dan untuk menolong agama-Nya serta manusia pun dapat menimba manfaat dari ilmu-ilmu tersebut, maka ilmu-ilmu tersebut merupakan suatu kebaikan dan kemaslahatan.

Boleh jadi mempelajari ilmu-ilmu tersebut hukumnya wajib dalam keadaan tertentu (yaitu) bila perkara tersebut masuk dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang." (Al-Anfal: 60)

Banyak diantara ulama yang menyatakan bahwa mempelajari ilmu perindustrian hukumnya fardhu kifayah. Karena manusia membutuhkan perabotan yang mereka gunakan untuk memasak, minum dan perkara-perkara lain yang dapat diambil manfaatnya oleh manusia.

Sekiranya tidak ada orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan industri tadi, maka mempelajari perkara-perkara tersebut hukumnya menjadi fardhu kifayah. Dan ini bahasan yang menjadi polemik di kalangan para ulama.

Bagaimana pun juga saya ingin mengatakan bahwa ilmu yang dipuji adalah ilmu syari'at, yaitu pemahaman terhadap Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain ilmu syari'at boleh jadi ilmu-ilmu tersebut merupakan perantara pada kebaikan atau pun perantara kepada kejelekan. Maka hukum dari ilmu-ilmu tersebut tergantung dari masalah penggunaan akhimya.


PASAL KEDUA
KEUTAMAAN-KEUTAMAAN ILMU


Allah subhanahu wa ta’ala dan As-Sunnah Al-Muthaharah telah memuji ilmu dan ahlinya. Dan Allah subhanahu wa ta’ala juga telah memberi motivasi kepada hamba-Nya untuk berilmu dan berbekal dengan ilmu. Ilmu syari'at termasuk amalan shalih, amalan ibadah yang paling utama dan paling mulia, karena ilmu merupakan salah satu jenis jihad di jalan Allah.

Din (agama) Allah subhanahu wa ta’ala ini tegak dengan dua perkara,
1. Ilmu dan bukti-bukti yang nyata.
2. Peperangan dan senjata.

Jadi mau tidak mau agama ini tegak dengan dua perkara di atas. Tidak mungkin agama Allah tegak dan tampil kecuali dengan dua perkara tersebut. Perkara pertama harus didahulukan dari perkara kedua. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyerang suatu kaum sampai dakwah telah disampaikan kepada mereka. Karenanya ilmu harus didahulukan dari peperangan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri dalam keadaan dia takut kepada adzab akhirat dan mengharapkan rahrnat Tuhannya?" (Az-Zumar: 9)

Pertanyaan di sini haruslah disertai dengan pembandingnya, apakah orang yang berdiri di waktu malam dan siang hari seperti orang yang tidak berbuat demikian? Pihak kedua sebagai pihak yang terkalahkan dari segi keutamaan tidak disebutkan (dalam ayat di atas), sebab sudah diketahui keadaannya. Jadi apakah sama kedudukan orang yang beribadah di waktu malam, sujud atau berdiri dalam keadaan takut kepada (adzab) akhirat dengan mengharapkan rahrnat Tuhannya, sama dengan orang yang sombong (tidak mau) taat kepada Allah?

Jawabnya: Tidak sama. Orang yang beribadah dengan mengharapkan pahala dari Allah dan takut kepada (adzab) akhirat, amalannya itu (dilakukan berdasarkan) ilmu atau timbul dan kebodohan? Jawabnya: (Amalannya tersebut) bersumber dan ilmu.

Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

"Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang- orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar: 9)

Orang yang berilmu tidak sama dengan orang yang tidak berilmu, sebagaimana tidak sama orang yang hidup dengan orang yang mati, orang yang mendengar dengan orang yang tuli, orang yang melihat dengan orang yang buta. Ilmu adalah berkas cahaya, yang dengan cahaya tersebut manusia akan memperoleh petunjuk dan mengeluarkannya dari kegelapan. Dengan ilmu Allah meninggikan hamba-hamba yang dikehendaki-Nya.

“Allah akan meninggikan orang orang yang heriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Al-Mujadalah: 11)

Oleh karena itu kita dapati bahwa ulama adalah orang-orang yang terpuji. Setiap kali mereka disebut (dibicarakan), orang-orang pun memuji mereka. Ini adalah ketinggian yang mereka peroleh di dunia, sedangkan di akhirat kelak mereka akan ditinggikan derajatnya sesuai dengan amal yang telah mereka kerjakan dan pengamalan ilmu yang telah mereka kuasai. Sesungguhnya hamba yang hakiki adalah hamba yang beribadah kepada Tuhannya di atas bashirah (ilmu yang mantap) dan kebenaran yang terang. Inilah jalan yang ditempuh Nabi.

"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik." (Yusuf: 108)

Seseorang yang bersuci (dari kotoran dan najis) dalam keadaan ia mengetahui ilmunya apakah dapat disamakan dengan orang yang bersuci lantaran melihat bapak dan ibunya bersuci? Dari dua orang tersebut, manakah yang lebih bisa merealisasikan ritual ibadah yang benar?

Manakah yang beramal di atas ilmu, orang yang bersuci karena mengetahui bahwa Allah telah memerintahkannya (untuk) bersuci dan bahwa hal tersebut merupakan cara bersuci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia bersuci dalam rangka menjalankan perintah Allah dan mengikuti Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah seseorang yang bersuci karena hal tersebut merupakan suatu kebiasaan saja baginya? Jawabnya, tidak disangsikan bahwa orang yang pertama adalah orang yang beribadah kepada Allah di atas bashirah (ilmu yang mantap). Lalu apakah sama kualitasnya orang yang pertama dan orang yang kedua? Walaupun kedua orang tersebut melakukan amalan yang sama, namun satu orang melakukan berlandaskan ilmu dan bashirah dengan mengharapkan pahala Allah subhanahu wa ta’ala, karena takut adzab akhirat dan merasa bahwa dia mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita berhenti sejenak pada point ini, dan saya ingin bertanya, apakah ketika berwudhu kita menyadari bahwa kita sedang menunaikan perintah Allah subhanahu wa ta’ala (yang disebutkan) di dalam firman-Nya,

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki." (Al-Maidah: 6)

Apakah ketika berwudhu seseorang mengingat ayat ini dan ia pun berwudhu dalam rangka merealisasikan perintah Allah? Apakah dia merasa ini adalah wudhu seperti yang telah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia pun berwudhu dalam rangka mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Jawabannya, ya. Semestinya kita menghadirkan hal itu. Atas dasar itu ketika melakukan ritual-ritual ibadah, kita hendaknya menjadi orang-orang yang menjalankan perintah Allah, sehingga nilai keikhlasan pun dapat terealisasikan dan kita pun menjadi orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kita mengetahui bahwa niat adalah salah satu syarat wudhu, akan tetapi terkadang yang dimaksud dengan niat adalah niat amalan (niat sebagai salah satu syarat wudhu). Dan ini adalah bahasan yang dikaji dalam bahasan fiqih. Terkadang yang dimaksud dengan niat adalah yang ditujukan kepada siapa amalan itu ditujukan. Ketika itu kita wajib berhati-hati terhadap perkara yang agung ini. Yaitu hendaknya kita selalu mengingat (perintah Allah) ketika sedang melaksanakan ritual ibadah, agar nilai keikhlasan dapat dicapai.

Kita pun hendaknya mengingat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; telah mengerjakan amalan tersebut dan kita berusaha mengikuti beliau agar mutaba'ah (sikap taat) kepada Rasulullah dapat terwujud pula. Sebab termasuk syarat sah diterimanya suatu amalan adalah ikhlas dan mutaba'ah. Dengan kedua perkara tersebut (ikhlas dan mutaba'ah) maka akan terealisasikan syahadat (Tiada Ilah yang berhak di ibadahi kecuali Allah) dan Muhammad adalah Rasulullah.

Kita kembali pada pembahasan keutamaan-keutamaan ilmu yang telah dikemukakan tadi. Karena dengan ilmu seseorang dapat beribadah kepada Tuhannya dengan bashirah. Dia akan terikat hatinya dengan ibadah tersebut dan hatinya pun menjadi terang. Dia mengerjakan amalan lantaran ia merupakan ibadah bukan sekedar kebiasaan semata.

Oleh karena itu apabila seseorang melaksanakan shalat dengan cara (yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka ia akan memperoleh jaminan seperti apa yang telah Allah beritakan, bahwa shalatnya akan mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Di antara keutamaan-keutamaan ilmu yang penting adalah sebagai berikut:
  1. Ilmu adalah warisan para Nabi.

    Para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambil ilmu tersebut maka sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para Nabi. Anda sekarang berada di abad ke-15 (hijriyah). Jika anda seorang yang berilmu, berarti anda telah mengambil warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal tersebut termasuk keutamaan yang paling besar.

  2. Ilmu sifatnya kekal sedangkan harta akan musnah.

    Inilah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau tergolong shahabat Rasulullah yang fakir. Sampai-sampai beliau pernah jatuh pingsan lantaran rasa lapar yang dialaminya. Saya akan bertanya kepada kalian dengan nama Allah- apakah (nama) Abu Hurairah masih tetap beredar di tengah-tengah manusia pada zaman kita sekarang ini ataukah tidak? Jawabannya ya, (nama beliau masih) banyak beredar (disebut).

    Abu Hurairah akan mendapatkan pahala disebabkan orang-orang yang mengambil faedah dari hadits-hadits (yang diriwayatkan darinya). Karena ilmu sifatnya langgeng (kekal) sedangkan harta akan habis, maka wajib bagi kalian wahai penuntut ilmu untuk berpegang teguh dengan ilmu.

    Dalam sebuah hadits beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    "Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih yang mendo'akannya." 6

  3. Pemilik ilmu tidak akan bersusah payah menjaga ilmunya.

    Pasalnya jika Allah memberikan karunia ilmu kepadamu, maka ia akan berada di hati, tidak perlu peti, kunci, dan lainnya. Ilmu tersebut terjaga di dalam hati dan terjaga pula di dalam jiwanya. Dan pada waktu yang sama ia menjagamu karena ia melindungi dari mara bahaya dengan seizin Allah subhanahu wa ta’ala.

    Oleh karena itu ilmu menjagamu, tapi harta benda kamulah yang menjaganya. Kamu harus menyimpan harta tersebut di peti-peti dalam keadaan terkunci rapat. Meski demikian engkau belum merasa tenang terhadap harta tersebut.

  4. Ilmu akan mengantarkan seseorang menjadi saksi terhadap Al-Haq.

    Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, "Allah menyatakan bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian)." (Ali Imran: 18)

    Apakah Allah (dalam ayat tersebut) menyebutkan para pemilik harta? Tidak. Sebaliknya yang disebut Allah adalah orang-orang berilmu yang menegakkan keadilan.

    Oleh karena itu cukuplah bagi engkau untuk berbangga hati, wahai penuntut ilmu, engkau bisa digolongkan ke dalam kelompok orang yang bersaksi bagi Allah, bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Dia bersama para malaikat yang akan memberikan kesaksian akan keesaan-Nya subhanahu wa ta’ala.

  5. Ahli ilmu merupakan salah satu komponen Wulatul Umur (pemerintah) yang Allah perintahkan untuk mematuhi mereka.

    (Hal itu) dinyatakan dalam firman-Nya,
    "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kalian." (An-Nisa': 59)

    Wulatul Umur (yang disebutkan) di sini mencakup dalam pengertian penguasa dan pemerintah maupun para ulama dan para penuntut ilmu. Cakupan wewenang ulama adalah dalam hal menjabarkan syari'at Allah dan mengemban misi dakwah. Sedangkan cakupan wewenang para penguasa adalah dalam penerapan syari'at Allah, sekaligus mengharuskan rakyat untuk menjalankannya.

  6. Ulama adalah penegak perintah Allah sampai Hari Kiamat.

    Hal tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Mua'wiyah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: "Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    "Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Allah akan pahamkan dia dalam agama. Saya hanyalah seorang pembagi, sedangkan Allah Sang Pemberi. Dan akan senantiasa ada pada umat ini kelompok yang tegak di atas perintah Allah, tidak akan merugikan mereka orang-orang yang menyelisihinya sampai datang keputusan Allah." 7

    Imam Ahmad rahimahullah berkata tentang kelompok tersebut, "Kalau mereka bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu lagi siapa mereka."

    Al-Qadhi Iyyadh rahimahullah berkata, "Yang dimaksud Imam Ahmad adalah Ahlus Sunnah dan orang-orang yang meyakini madzhab Ahlul Hadits."

  7. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memotivasi seseorang untuk iri terhadap orang lain yang memperoleh nikmat Allah kecuali dalam 2 perkara:

    1. Seseorang yang menuntut ilmu dan mengamalkannya.
    2. Seorang pengusaha yang menginfakkan hartanya untuk kepentingan Islam.

    Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasuluilah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada hasad (iri) kecuali dalam 2 perkara: seseorang yang Allah limpahkan harta kepadanya lalu orang tersebut menghabiskan seluruh hartanya dalam kebenaran dan seseorang yang Allah berikan hikmah kemudian dia mengamalkan dan mengajarkannya." 8

  8. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu ‘anhu dari Nabi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    "Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku dengannya laksana hujan yang menerpa bumi, maka di antara tanah di bumi tersebut ada yang baik, bisa menyerap air dengan hujan tersebut tumbuhlah tanam-tanaman yang banyak dan rerumputan. Di antaranya ada tanah yang keras mampu menampung air, maka Allah memberikan manfaat kepada manusia dengan air yang tertampung tersebut, mereka dapat meminumnya, mengairi tanah dan bercocok tanam. Kemudian hujan itu menerpa tempat lainnya, tempat itu berupa tanah tandus yang tidak bisa menahan air dan tidak pula dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Itulah perumpamaan orang yang mengerti dan memahami dien Allah, diapun dapat memberikan manfaat dari ajaran syari'at yang kubawa, dia mengetahui dan mengajarkannya. Begitu pula perumpamaan orang yang tidak mau mengangkat kepalanya terhadap ilmu dan petunjuk. Dia tidak mau menerima petunjuk Allah yang aku bawa." 9

  9. Ilmu adalah jalan menuju surga.

    Sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    "Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga."10

  10. Disebutkan dalam hadits (yang diriwayatkan oleh) Mu'awiyah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah bersabda,

    "Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya maka Allah akan pahamkan dia dalam agama."

    Maksudnya Allah akan menjadikan dia sebagai orang yang faqih (paham) dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala. Yang dimaksud dengan pemahaman agama bukan hanya sebatas pemahaman hukum-hukum amaliah yang khusus saja, yang menurut para ulama diistilahkan dengan ilmu fiqih.

    Namun (lebih dari itu), yang dimaksud dengan pemahaman agama adalah mencakup ilmu tauhid, ilmu ushul fiqih, dan disiplin ilmu lain yang terkait dengan syari'at Allah subhanahu wa ta’ala. Andaikata tidak ditemukan dalam nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah kecuali hadits ini dalam menerangkan keutamaan ilmu, niscaya hadits itu cukup untuk mendorong proses penuntutan ilmu syari'at dan pemahamannya.

  11. Ilmu adalah cahaya yang bisa menerangi seorang hamba, sehingga dia dapat mengetahui bagaimana cara beribadah kepada Tuhannya dan bagaimana dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga jejak langkahnya didasari oleh ilmu dan bashirah.

  12. Ulama adalah cahaya yang dengan (melalui) mereka manusia dapat memperoleh petunjuk dalam perkara agama dan dunia.

    Tidak samar bagi kebanyakan orang tentang kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang telah membunuh 99 manusia lalu orang itu bertanya tentang orang yang paling berilmu. Kemudian ditunjukkan pada seorang ahli ibadah. Lalu ia bertanya kepada ahli ibadah apakah masih ada kesempatan bagi dirinya untuk bertaubat? Ahli ibadah itu memandang perbuatan itu sangat besar, lantas ia menjawab: tidak. Akhirnya laki-laki tersebut membunuh ahli ibadah tersebut. Maka genaplah bilangan orang yang dibunuh menjadi 100 jiwa.

    Setelah itu dia pergi menemui seorang ulama, lalu ia bertanya kepadanya. Kemudian ulama tersebut mengabarkan kepadanya bahwa masih ada kesempatan untuk bertaubat dan tiada seorang pun yang menghalanginya untuk bertaubat. Kemudian ulama itu menunjukkan padanya sebuah negeri yang penduduknya adalah orang-orang shalih agar dia menuju negeri tersebut. Maka dia pun keluar, di tengah jalan kematian menjemputnya. Kisah ini sudah termasyhur (terkenal).11 Maka lihatlah perbedaan antara seorang ulama dengan seorang yang jahil (bodoh).

  13. Sesungguhnya Allah akan meninggikan ahli ilmu (ulama) di akhirat kelak dan di dunia.

    Di akhirat Allah akan mengangkat mereka beberapa derajat sesuai dengan dakwah dan amal perbuatan yang telah mereka lakukan. Sedangkan di dunia Allah akan meninggikan mereka di antara hamba-hambanya sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

    "Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Al-Mujadalah: 11)


PASAL KETIGA
HUKUM MENUNTUT ILMU SYARI’AT

Menuntut ilmu syari'at hukumnya fardhu kifayah apabila telah dilakukan oleh sekelompok orang dalam jumlah yang cukup sehingga bagi yang lainnya hukumnya sunnah. Boleh jadi menuntut ilmu hukumnya wajib 'ain bagi orang tertentu.

Batasannya adalah seseorang harus paham dan mengerti tentang pengetahuan terhadap suatu ritual ibadah yang hendak dia kerjakan ataupun muamalah yang hendak ia lakukan. Dalam keadaan ini wajib baginya untuk mengetahui bagaimana caranya beribadah kepada Allah dan bagaimana dia bisa bermuamalah (dengan orang lain).

Adapun ilmu selain itu hukumnya fardhu kifayah. Seyogyanya bagi seorang penuntut ilmu untuk menyadari bahwa dia sedang melakukan ibadah yang fardhu kifayah, agar ia memperoleh pahala orang yang menunaikan kewajiban sekaligus ia pun memperoleh ilmu. Tidak diragukan bahwa menuntut ilmu termasuk jenis amalan yang paling utama. Bahkan (lebih dari itu) amalan tersebut termasuk jihad di jalan Allah.

Terlebih lagi pada zaman sekarang ini, ketika mulai bermunculan berbagai kebid'ahan di masyarakat Islam, tersebar luas dan bertambah banyak (bentuk dan ragamnya). Kebodohan yang banyak dari orang-orang yang mulai memberanikan diri untuk berfatwa tanpa ilmu. Juga mulai muncul berbagai perdebatan pada kebanyakan orang.

Tiga faktor yang mengharuskan para pemuda untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, yaitu:
  1. Berbagai kebid'ahan yang mulai terbit bintang-bintangnya.
  2. Orang-orang yang memberanikan diri berfatwa tanpa ilmu.
  3. Banyak orang yang berdebat dalam perkara yang sudah jelas menurut para ulama, namun muncul orang-orang yang mendebatnya dalam perkara itu tanpa ilmu.
Atas pertimbangan itu kita membutuhkan ulama yang mumpuni dan memiliki jam terbang tinggi dalam mengkaji (ilmu agama ini). Mereka memiliki pemahaman dan pengetahuan terhadap agama Allah. Mereka menggunakan hikmah dalam membimbing hamba-hamba Allah.

Karena kebanyakan manusia sekarang ini, mereka hanya memperoleh ilmu yang sifatnya teori murni dalam saiah satu permasalahan, namun (sangat disayangkan) mereka tidak menaruh perhatian pada usaha pembenahan masyarakat dan pembinaan terhadap mereka.

Apabila mereka berfatwa dengan ini dan itu, justru menjadi wasilah (perantara) menuju kejelekan yang lebih besar yang tidak diketahui ujungnya kecuali oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

____________________________________

3. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Ilmi Bab: Man Yuridillahu bihi Khairan dan Muslim dalam Kitabuz Zakat Bab: ‘An-nahyu ‘anil Mas'alati.

4. HR. Abu Dawud dalam Kitabul Ilmi Bab: Al-Hatsu 'alal Thalabul 'Ilmi (Anjuran Untuk Menuntut Ilmu) dan At-Tirmidzi dalam Kitabul Ilmi Bab: Maa Jaa fi Fadlil Fiqhi 'alal 'Ibadati.

5. HR. Muslim dalam Kitabul Fadhail Bab: Wujubu Imtisali Maqalahu Syar 'an Duna Man Dzakarahu Shallallahu ’alaihi wa Sallam min Ma’ayisyid Dunya 'ala Sabilir Ra'yi.

6. HR. Muslim dalam Kitabul Washiyat Bab: Maa Yalhaqal Insanu minats Tsawabi ba'da Wafatihi.

7. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Ilmi Bab: Man Yuridillahu bihi Khairan dan Muslim dalam Kitabuz Zakat Bab: 'An-Nahyu 'anil Mas 'alati.

8. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Ilmi Bab: Ightibath fil 'Ilmi wal Hikmah dan Muslim dalam Kitabush Shalah Bab: Fadlu man Yaqumu fil Qur 'ani wa Ya 'alimuhu.

9. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Ilmi Bab: Man 'Alima wa 'Amala dan Muslim dalam Kitabul Fadhail Bab: Matsalu Maa Ba 'atsa Nabiyu Shallallahu ’alaihi wa Sallam minal huda wal 'ilmi.

10. HR. Muslim dalam Kitabud Da'awat Bab: Fadlul Ijtima'i 'ala Tilawatil Qur'an.

11. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Anbiya Bab: Maa Dzakara 'an Bani Israil dan Muslim dalam Kitabut Taubah Bab: Qabulu Taubatil Qatil.

[Dari: Kitabul ‘Ilmi; Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin; Edisi Indonesia: Tuntunan Ulama Salaf Dalam Menuntut Ilmu Syar’i; Hal:2-17; Cetakan Pertama, Rabi’ul Awwal 1427 H/ April 2006 M; Penerjemah: Abu Abdillah Salim bin Subaid; Penerbit: Pustaka Sumayyah]