web 2.0

Selasa, Juli 01, 2008

Adab Santun Penuntut Ilmu (1)

بسم الله الر حمن الر حيم

PASAL PERTAMA
ADAB SANTUN PENUNTUT ILMU


Seorang penuntut ilmu harus berakhlak dengan berbagai adab santun. Kami akan paparkan beberapa diantaranya:

1. Mengikhlaskan niat untuk Allah ‘Azza wa Jalla.

Tujuan dalam menuntut ilmu adalah untuk (mengharapkan) wajah Allah dan untuk (memperoleh kebaikan) kehidupan akhirat. Allah telah menganjurkan dan memberikan motivasi untuk menuntut ilmu di dalam firman-Nya,

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang haq untuk diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampun atas dosamu." (Muhammad: 19)

Pujian terhadap ulama di dalam Al-Qur'an telah cukup dikenal. Apabila Allah memuji sesuatu atau memerintahkannya, maka hal tersebut menjadi suatu amaliah ibadah. Jika demikian maka dalam menuntut ilmu wajib untuk mengikhlaskan diri hanya bagi Allah, yaitu dengan jalan seorang harus meniatkan (mengharapkan) wajah Allah. Jika seseorang meniatkan dalam menuntut ilmu syari'at itu untuk meraih ijazah yang akan dia gunakan untuk mencapai suatu kedudukan ataupun status tertentu, maka sesungguhnya Rasulullah bersabda,

"Barangsiapa mempelajah ilmu yang diharapkan dengannya wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta dunia maka dia tidak akan mencium wangi surga di Hari Kiamat." 12

Maksudnya adalah mencium baunya. Dan ini merupakan ancaman yang keras. Tapi jika ada seorang penuntut ilmu yang mengatakan saya ingin memperoleh ijazah bukan lantaran ingin mendapatkan bagian dari harta dunia akan tetapi sistem (yang ada) menjadikan ukuran seorang ulama adalah ijazahnya. Kami katakan, jika seseorang berniat memperoleh ijazah dalam rangka memberi kemanfaatan kepada orang lain baik dalam bidang pengajaran, administrasi, atau dalam bidang lainnya maka hal tersebut merupakan niatan yang lurus, tidak membahayakan dirinya sedikitpun, karena niatan tersebut benar.

Kita mengulas faktor keikhlasan di awal pembahasan adab-adab penuntut ilmu tidak lain karena keikhlasan merupakan hal yang prinsipil. Maka penuntut ilmu wajib meniatkan amalannya dalam rangka menunaikan perintah Allah. Karena Allah memerintahkan dalam firman-Nya,

"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang haq untuk diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampun atas dosamu." (Muhammad: 19)

Allah memerintahkan untuk berilmu, maka jika engkau mempelajari ilmu berarti engkau telah menunaikan perintah Allah.


2. Menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.

Ketika seseorang menuntut ilmu hendaknya diniatkan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain. Karena asal muasal manusia adalah bodoh. Dalil hal tersebut adalah firman Allah,

"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan kamu tidak mengetahui sesuatupun dan Allah memberikanmu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur." (An-Nahl: 78)

Realita membuktikan demikian, maka engkau harus meniatkan (dalam menuntut ilmu adalah) untuk menghilangkan kebodohan dari dirimu. Dengan demikian engkau akan mendapatkan rasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama." (Fathir: 28)

Jadi, engkau harus berniat menghilangkan kebodohan dari dirimu, karena pada dasarnya dalam dirimu tersimpan kebodohan. Jika engkau belajar engkau akan menjadi orang yang berilmu dan kebodohanmu akan hilang.

Demikian pula engkau meniatkan (dengan belajar itu) untuk menghilangkan kebodohan dari umat ini. Hal tersebut dapat dicapai dengan ta'lim (proses belajar mengajar) atau dengan berbagai macam cara agar orang lain bisa menimba manfaat dari ilmumu. Apakah termasuk syarat mengambil manfaat ilmu adalah dengan cara duduk di masjid dalam suatu halaqah ataukah mengambil manfaat ilmu tersebut pada semua kondisi?

Jawabnya: dengan (jawaban) kedua. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat." 13

Apabila engkau mengajarkan ilmu kepada seseorang kemudian orang itu mengajarkan kepada orang lain, maka engkau akan mendapatkan pahala dua orang. Apabila orang ketiga mengajarkan kepada orang lain, engkau akan mendapatkan pahala tiga orang. Demikian seterusnya.

Tergolong perbuatan bid'ah apabila seseorang menunaikan suatu ibadah lalu mengucapkan, "Ya Allah, jadikan pahala ibadah ini untuk Rasulullah." Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang telah mengajari dan menunjukimu, maka (secara otomatis) beliau akan mendapatkan pahala seperti pahalamu.

Imam Ahmad rahimahullah berkata,
"Ilmu, tidak ada satu pun yang dapat menandinginya bagi orang yang lurus niatnya." Para muridnya bertanya, "Mengapa demikian?" Beliau menjawab, "(Karena) ia berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain."

Sebab pada dasarnya kebodohan melekat pada diri mereka sebagaimana kebodohan itu merupakan sifat dasar yang melekat pada dirimu. Apabila engkau belajar dalam rangka rnenghilangkan kebodohan dari umat ini berarti engkau digolongkan dalam deretan orang yang berjihad di jalan Allah dan menyebarkan agama-Nya.


3. Membela Syari'at.

Dengan menuntut ilmu ia juga mempunyai niat untuk membela syari'at (Islam). Sebab kitab-kitab tidak dapat membela syari'at (secara langsung) dan pembelaan syari'at ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang mengembannya. Jika seorang Ahlul Bid'ah datang ke suatu perpustakaan yang dipenuhi berbagai macam kitab syari'at yang tidak terhitung jumlahnya, lalu dia berbicara dengan kebid'ahan dan mengikrarkannya maka saya yakin tidak akan ada satu kitab pun yang akan membantahnya. Lain halnya jika Ahlul Bid'ah tersebut berbicara dengan kebid'ahannya di hadapan seorang yang berilmu (ulama) untuk mengikrarkan kebid'ahannya, tentu penuntut ilmu tersebut akan membantah dan menghabisi ucapannya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu harus meniatkan belajarnya untuk membela syari'at.

Pembelaan terhadap syari'at Islam tidak mampu dilakukan kecuali oleh orang-orang yang memiliki senjata. Apabila kita memiliki berbagai macam senjata yang telah memenuhi gudang persenjataan apakah senjata-senjata itu sanggup dengan sendirinya menembakkan pelurunya kepada musuh? Ataukah tidak bisa kecuali dengan orang yang menggerakkannya?

Jawabannya: perbuatan itu (menyerang musuh dengan senapan) tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang menggunakannya. Demikian juga dengan ilmu. Sesungguhnya bid'ah yang baru akan terus muncul, terkadang terjadi bid'ah-bid'ah yang tidak muncul pada zaman dahulu dan bid'ah-bid'ah tersebut tidak terdapat dalam kitab-kitab (buku-buku), sehingga tidak mungkin membela syari'at ini kecuali dilakukan oleh penuntut ilmu.

Oleh karena itu saya katakan, sesungguhnya termasuk hal-hal yang wajib untuk diperhatikan oleh penuntut ilmu adalah masalah pembelaan syari'at ini. Dengan demikian manusia berada dalam kondisi sangat butuh kepada ulama, dalam rangka mengkonter tipu daya Ahlul Bid'ah dan segenap musuh-musuh Allah. Hal itu tidaklah bisa terealisasi kecuali dengan ilmu syari'at yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.


4. Berlapang dada dalam masalah khilafiyah (perbedaan pendapat).

Hati seorang penuntut ilmu harus lapang dalam masalah perbedaan pendapat yang bersumber dari proses ijtihad. Sebab masalah perbedaan pendapat di kalangan ulama bisa jadi tergolong masalah yang tidak ada lagi tempat untuk berijtihad dalam masalah tersebut. Sebab titik masalahnya sudah jelas (gamblang) sehingga tidak seorangpun memperoleh udzur (alasan) untuk menyelisihinya.

Bisa jadi masalah tersebut adalah masalah yang masih terbuka pintu ijtihad di dalamnya, sehingga seseorang bisa diterima alasannya jika menyelisihi (pendapat yang lain) dalam masalah itu. Bukan berarti ucapanmu akan menjadi bumerang bagi orang yang menyelisihimu, sebab kalau kita menerima (konsep) itu maka tentunya kita akan katakan dengan yang sebaliknya ucapannya (bisa) menjadi bumerang atasmu. Berdasarkan hal tersebut, saya mengingatkan bahwa akal tidak mempunyai tempat dalam masalah ini, sehingga orang-orang tidak mempunyai kelonggaran untuk berselisih paham dalam masalah tersebut.

Adapun orang-orang yang menyelisihi jalan kaum Salaf seperti (dalam) masalah-masalah aqidah, maka dalam masalah ini penyelisihan yang dilakukan seseorang yang berbeda dengan yang diyakini oleh Salafus Shalih tidak bisa ditolerir. Tapi pada masalah-masalah lain yang ada tempat bagi akal untuk berperan di dalamnya, maka tidak sepatutnya untuk menjadikan perbedaan pendapat tersebut sebagai bahan cemoohan pada orang lain. Dan tidak sepatutnya untuk menjadikan hal tersebut sebagai pemicu terjadinya permusuhan dan kebencian.

Para shahabat radhiyallahu ‘anhum, saling berbeda pendapat dalam banyak masalah. Dan siapa yang ingin mengetahui perbedaan pendapat di kalangan mereka hendaklah ia merujuk atsar-atsar yang menuturkan tentang (keadaan) rnereka. Akan dijumpai adanya perbedaan pendapat dalam berbagai masalah. Permasalahan mereka lebih besar dibandingkan dengan masalah-masalah yang diangkat oleh orang-orang pada zaman ini sebagai isu-isu untuk berbeda pendapat, sehingga orang-orang menjadikan perbedaan itu sebagai bentuk pengkotak-kotakan massa. Mereka mengatakan, "Saya seide dengan Fulan, saya satu haluan dengan Fulan." Seolah-olah masalah ini adalah masalah penggolong-golongan (antara satu kelompok dengan kelompok lain). Ini adalah suatu kekeliruan.

Contoh dari hal tersebut, ada seseorang mengatakan, "Jika engkau bangkit dari ruku' janganlah engkau letakkan tangan kananmu di atas tangan kirimu, tapi lepaskanlah kedua tanganmu ke arah sisi kedua belah pahamu. Jika engkau tidak mengerjakan ahli bid'ah bukan suatu perkara yang remeh. Apabila ada orang yang mengatakan itu padaku maka akan timbul ketidaksukaan dalam dadaku sebab kita adalah manusia biasa.

Kita katakan, dalam permasalahan ini terdapat kelonggaran, seseorang mungkin untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya atau melepaskan kedua tangannya. Oleh karenanya Imam Ahmad memberikan alternatif untuk memilih apakah ia meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya ataukah melepaskannya. Sebab perkara dalam persoalan ini cukup longgar.

Tapi amalan manakah yang merupakan sunnah dalam masalah ini? Jawabannya: Yang sunnah adalah engkau meletakkan tangan kananmu di atas tangan kirimu jika engkau bangkit dari ruku', sebagaimana engkau meletakkannya tatkala berdiri. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Sahal bin Sa'ad, beliau berkata, "Dulu orang-orang menyuruh mereka yang mengerjakan shalat untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kirinya." 14

Silahkan engkau perhatikan, apakah beliau kehendaki hal itu (menaruh lengan kanan di atas lengan kiri) ketika sujud, ketika ruku', ataukah ketika duduk? Tidak, namun yang dikehendaki beliau adalah ketika dalam keadaan berdiri, baik berdirinya itu sebelum ruku' atau sesudahnya.

Jadi kita wajib untuk tidak menjadikan perbedaan pendapat yang muncul di kalangan ulama sebagai pemicu perpecahan dan persengketaan di antara umat Islam. Sebab kita semua mendambakan kebenaran dan kita semua menjalankan apa yang dipahami dari proses ijtihad mereka. Selama masih sebatas itu, maka kita tidak diperkenankan untuk menjadikan hal tersebut sebagai pemicu permusuhan dan perpecahan di antara ulama. Sebab perbedaan pendapat itu senantiasa muncul di kalangan ulama, bahkan pada zaman Nabi sekali pun. Kalau begitu, penuntut ilmu berkewajiban untuk bersatu padu dan mereka tidak menjadikan perbedaan pendapat semacam ini sebagai sebab untuk saling menjauhi dan saling membenci satu sama lain.

Sebaliknya, yang wajib jika engkau berbeda pendapat dengan rekanmu berdasar kandungan dalil yang engkau pegang dan dia berbeda pendapat denganmu berdasarkan dalil yang dia pegang, hal itu justru akan menjadikan kalian berada di atas jalan yang sama dan kecintaan di antara kalian berdua pun akan semakin bertambah.

Oleh karena itu kami merasa bersuka cita dan menyambut gembira terhadap generasi muda kita yang memiliki kecenderungan besar untuk mengadakan studi banding terhadap berbagai macam masalah dengan menyodorkan dalil-dalil dan adanya kecenderungan besar untuk membangun ilmu mereka di atas Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kami memandang bahwa fenomena tersebut merupakan pertanda baik dan kabar gembira pun akan ia rasakan dengan dibukanya pintu-pintu ilmu dari jalur-jalur yang benar. Dan kita tidak menghendaki mereka menjadikan fenomena tersebut sebagai pemicu proses pengkotakan massa dan penanaman kebencian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka." (Al-An'am: 159)

Kami tidak menyepakati perbuatan orang-orang yang menjadikan diri mereka menjadi bergolong-golong dan masing-masing fanatik pada golongannya. Sebab golongan Allah hanyalah satu. Kami pun memandang bahwa perbedaan paham lain dan tidak pula mendorong mereka untuk menjatuhkan kehormatan saudaranya. Para penuntut ilmu wajib menjadi orang-orang yang bersaudara kendati mereka berselisih paham dalam sebagian perkara furu' (cabang) dan hendaknya satu sama lain mengajak dengan cara yang tenang dan bertukar pikiran (diskusi) dengan tujuan mencari wajah Allah dan tercapainya target ilmu.

Dengan sikap lembut akan terjalin persatuan. Fenomena kerusakan dan sifat arogan pada sebagian orang akan hilang. Terkadang hal tersebut sampai menyeret mereka pada pertengkaran dan permusuhan. Dan itu tidak diragukan lagi akan membuat musuh-musuh kaum muslimin bersorak gembira. Dan perselisihan yang terjadi di antara umat Islam tergolong aspek yang paling merugikan umat Islam sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (Al-Anfal: 46)

Para shahabat radhiyallahu ‘anhum saling berbeda pendapat pada masalah-masalah semacam ini. Tapi mereka tetap berada di atas satu hati, di atas cinta kasih dan tetap bersatu. Bahkan saya akan katakan secara terus terang, apabila seseorang berbeda pendapat denganmu dengan dalil yang dia pegang, sebenarnya orang tersebut adalah mencocokimu. Sebab masing-masing dari kalian berdua adalah pencari kebenaran. (Alasan) berikutnya, tujuan kalian pun sama yaitu tercapainya target kebenaran yang berasal dari dalil.

Jika demikian halnya, maka orang tersebut tidak berbeda pendapat denganmu, selama engkau mengakui bahwa dia berbeda pendapat denganmu dengan dalil yang dia pegang. Lalu dimana (letak) perbedaan pendapatnya? Dengan cara ini umat akan tetap bersatu padu, meskipun mereka berbeda pendapat dalam beberapa masalah lantaran adanya dalil yang dipegang oleh masing-masing dari mereka.

Adapun orang yang keras kepala dan membantah setelah tampak kebenaran, maka tidak disangsikan lagi bahwa orang tersebut harus disikapi dengan cara yang setimpal dengan perbuatannya setelah (tampak) pembangkangan dan penyimpangannya. Setiap keadaan memiliki peringatan yang disesuaikan dengan kondisinya.


5. Mengamalkan ilmu.

Seorang penuntut ilmu hendaknya mengamalkan ilmunya, baik yang berhubungan dengan perkara aqidah, akhlak, adab sopan santun dan pergaulan dengan orang lain. Sebab amal adalah buah dan hasil ilmu. Seorang pembawa ilmu bagaikan orang yang membawa senjata. Bisa jadi ilmu tersebut membawa dampak positif bagi dirinya atau malah membawa dampak negatif. Oleh karena itu telah tsabit (tetap) dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bahwa beliau bersabda,

"Al-Qur'an itu bisa menjadi pembela bagimu atau menjadi bencana bagimu." 15

Menjadi pembela bagimu jika engkau tidak mengamalkannya. Demikian pula pengamalan hadits Nabi yang shahih dilakukan dengan cara membenarkan berita dan menjalankan hukum-hukumnya.

Jika datang berita dari Allah dan Rasul-Nya maka benarkan dan ambillah dengan penerimaan dan kepatuhan. Janganlah engkau katakan kenapa begini atau bagaimana ini? Sebab cara penyikapan seperti itu bukan jalan orang-orang beriman. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

"Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." (Al-Ahzab: 36)

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menceritakan kepada shahabatnya beberapa perkara yang merupakan sesuatu yang aneh dan jauh dari pemahaman mereka. Tetapi mereka tetap menerimanya. Mereka tidak berkomentar kenapa atau bagaimana? Berbeda dengan penyikapan yang dilakukan orang-orang belakangan dari umat ini.

Kita dapati salah seorang dari mereka jika diberitakan sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam akalnya merasa bingung lalu kita temui orang tersebut mengemukakan berbagai alternatif yang diharapkan dapat menghilangkan kebingungannya. Dia menunjukkan keberatannya dan sebaliknya tidak berusaha mencari kejelasan. Oleh karena itu dia akan terhalang dari taufiq Allah, walau telah disampaikan hadits Rasulullah kepadanya. la enggan menerima dan tunduk pada hadits tersebut. Saya akan membawakan sebuah contoh tentang hal tersebut.

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

"Rabb kita turun ke langit dunia, tatkala tersisa sepertiga malam terakhir, lain Dia berfirman: Barangsiapa berdo'a kepada-Ku Aku akan mengabulkannya, barangsiapa meminta kepada-Ku Aku akan memberinya, dan barangsiapa memohon ampun kepada-Ku Aku akan mengampuninya." 16

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah menuturkan hadits tersebut. Hadits itu masyhur bahkan mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan). Tiada seorang shahabat pun yang angkat bicara dan bertanya, wahai Rasulullah bagaimana Allah turun? Apakah Arsy-Nya akan kosong ataukah tidak? Dan lain sebagainya. Namun kita dapati sebagian orang memperbincangkan perkara semacam ini, bagaimana Allah di atas Arsy-Nya sedangkan Dia turun ke langit dunia? Dan lontaran-lontaran serupa yang mereka kemukakan.

Andai saja mereka mau menerima hadits ini lantas mereka mengatakan, Allah ‘Azza wa Jalla bersemayam di atas Arsy-Nya. Sifat ketinggian termasuk keharusan dari Dzat-Nya. Allah turun sebagaimana yang Dia subhanahu wa ta’ala kehendaki. Tentunya syubhat-syubhat tersebut akan tersingkirkan dari diri mereka. Mereka tidak lagi merasa bingung dengan perkara-perkara yang diberitakan Nabi dari Rabb-nya.

Jika demikian halnya maka kita wajib menerima berita-berita ghaib dari Allah dan Rasul-Nya dengan ketundukan dan kepasrahan. Kita pun tidak menyangkalnya dengan apa yang terlintas dalam benak kita baik dari hal yang bisa dirasakan oleh panca indera atau dengan perkara yang pernah kita lihat. Sebab perkara yang ghaib berada di atas semua itu.

Contoh dalam masalah tersebut banyak sekali dan saya tidak ingin memperpanjangnya. Sikap seorang mukmin terhadap hadits-hadits ini hanyalah menerima dan tunduk dan mengatakan Maha Benar Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah beritakan dalam firman-Nya,

"Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman." (Al Baqarah: 285)

Aqidah (kita) wajib dibangun di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Hendaknya manusia mengetahui bahwa tiada tempat bagi akal dalam hal tersebut. Saya tidak mengatakan tidak ada jalan masuk bagi akal dalam masalah tersebut. Saya hanya mengatakan tidak ada tempat bagi akal dalam masalah tersebut. Sebab apa yang disebuikan oleh nash-nash tentang kesempurnaan Allah adalah sesuatu yang dipersaksikan (diterima) oleh akal. Walaupun akal manusia tidak akan sanggup memahami rincian kesempurnaan Allah. Namun akal bisa memahami bahwa Allah pemilik segala kesempurnaan. Maka mengamalkan ilmu aqidah yang telah Allah karuniakan adalah suatu keharusan. Demikian pula dari segi peribadatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebagaimana kebanyakan kita telah mengetahui bahwa ibadah dibangun di atas 2 prinsip dasar:

1. Ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
2. Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.

Oleh karena itu setiap orang (harus) membangun amalnya di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tidak merekayasa bid'ah dalam agama Allah, baik dari asal muasal ibadah tersebut maupun dalam sifatnya. Oleh karena itu kita katakan bahwa suatu amalan ibadah harus ditentukan oleh syari'at baik dalam bentuk, tempat, waktu maupun sebabnya. Ibadah harus benar-benar ditentukan oleh syari'at dalam perkara-perkara ini seluruhnya. Jika ada orang menetapkan sebuah sebab untuk beribadah kepada Allah tanpa dilandasi dalil maka kita akan membantahnya dan kita katakan amalan ini tidak diterima. Karena dia hams menetapkan bahwa sebab itu berasal dari ibadah tersebut.

Seandainya seseorang mensyari'atkan suatu bentuk peribadatan yang tidak pernah ditentukan oleh syari'at atau mendatangkan sesuatu yang ada pada syari'at namun dengan bentuk yang ia rekayasa sendiri ataupun dengan waktu yang ia tentukan sendiri, kita katakan bahwa ibadah tersebut akan tertolak. Sebab ibadah harus dibangun di atas ajaran syari'at. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari ilmu yang telah Allah subhanahu wa ta’ala ajarkan padamu. Janganlah engkau beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala melainkan dengan ajaran yang telah disyari'atkan-Nya. Para ulama mengungkapkan bahwa hukum asal ibadah adalah terlarang sampai ditemukan dalil yang mensyari'atkannya. Mereka berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan bagi mereka agama yang tidak diizinkan Allah." (Asy Syura': 21)

Mereka berdalil pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang tsabit dalam Ash Shahih (riwayat Muslim) dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,

"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak." 17

Walaupun engkau ikhlas (ketika mengerjakannya) dan engkau ingin agar ibadah tersebut sampai kepada Allah dan engkau ingin sampai pula pada kemuliaan-Nya, akan tetapi jika hal itu dilakukan dengan cara yang tidak disyari'atkan maka amalan itu akan tertolak. Jika engkau menghendaki untuk sampai kepada Allah dari jaian yang tidak Allah tentukan sebagai jalan pengantar kepada-Nya, maka amalan itu tertolak.

Jika demikian, maka seorang penuntut ilmu wajib untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan syari'at yang telah diajarkan oleh Allah tanpa menambah dan mengurangi. Dia tidak mengatakan, "Sesungguhnya perkara yang ingin saya tunaikan untuk beribadah kepada Allah adalah hal yang cocok bagi jiwaku, tenang bagi hatiku dan lapang bagi dadaku." Dia tidak mengatakan ungkapan seperti itu, walaupun kenyataannya memang terjadi. Hendaklah ia menimbang amalan tersebut dengan timbangan syari'at. Jika Al-Qur'an dan As-Sunnah telah mengakuinya, maka ia wajib untuk menerima dengan mata dan kepalanya (mendengar dan mentaati). Jika tidak, maka amalan buruk telah diperindah bagi orang itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

"Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu ia meyakini pekerjaan itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu setan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya." (Fathir: 8)

Seorang penuntut ilmu juga harus mengaplikasikan ilmunya dalam perkara akhlak dan pola interaksi dengan sesama. Ilmu syari'at mengajak kepada semua budi pekerti yang iuhur, baik berupa sifat jujur, menepati janji dan cinta kebaikan kepada orang-orang yang beriman. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

"Tidaklah beriman seorang di antara kalian sampai ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya." 18

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda,

"Barangsiapa ingin dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah (ketika) datang kematiannya dia dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Dan hendaklah ia mendatangi manusia dengan apa yang ia pun suka jika hal itu didatangkan pada dirinya." 19

Banyak manusia yang memiliki ghirah (semangat) dan cinta kepada kebaikan, namun mereka berinteraksi dengan orang lain dengan akhlak yang tidak baik. Kita jumpai orang itu mempunyai perangai yang keras dan kasar, termasuk ketika berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita dapati orang tersebut menggunakan cara-cara yang kasar dan keras.

Perilaku ini menyalahi akhlak yang diperintahkan Allah. Ketahuilah bahwa akhlak yang baik tergolong bentuk amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang paling pantas mengikuti Nabi dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Nabi adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,

"Sesungguhnya di antara orang yang paling cinta diantara kalian kepadaku dan yang paling dekat di antara kalian kepadaku majelisnya pada Hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku pada Hari Kiamat adalah Ats-Tsartsarun, Al-Mutasyaddiqun, dan Al-Mutafaihiqun. Para shahabat bertanya, Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui makna Al-Tasrtsarun yaitu orang yag suka berteriak, sedang Al-Mutasyadiqun adalah orang yang banyak cakap. Lalu apa itu Al-Mutafaihiqun? Maka beliau menjawab, Yaitu orang-orang yang takabur." 20


6. Berdakwah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Seorang penuntut ilmu hendaknya berdakwah kepada Allah dengan ilmunya. Ia berdakwah pada setiap kesempatan baik di masjid, di majelis-majelis, di pasar, dan di setiap kesempatan. Setelah Allah mengangkat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam sebagai Nabi dan Rasul, beliau tidak lantas duduk (diam) di rumahnya akan tetapi beliau menyampaikan dakwah kepada manusia dan melakukan mobilitas dakwah.

Saya tidak menghendaki penuntut ilmu hanya menjadi salinan-salinan kitab. Namun saya menghendaki mereka menjadi ulama yang beramal (dengan ilmu yang mereka miliki).

______________________________________

12. HR. Ahmad juz 2 hal 338, Abu Dawud dalam Kitabul 'Ilmi Bab: Thalabul 'Ilmi li Ghairillah, Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah Bab: Al-Intifa'u bil 'Ilmi wal Amalihi bihi, Hakim dalam Al-Mustadrak juz 1 hal 160, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf juz 8 hal. 543, Al-Ajuri dalam Akhlaqul 'Ulama hal. 142, Akhlaqul Ahlil Qur 'an hal. 128 no. 57. Al-Hakim berkata, "Hadits shahih dan perawinya tsiqah."

13. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Anbiya’ Bab: Maa Dzakara ‘an Bani Israil.

14. HR. Al-Bukhari dalam Kitab Shifatush Shalat Bab: Wadha 'al Yimna 'alal Yusra (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri) dan lafadznya dari Sahal bin Sa'ad berkata: "Manusia disuruh untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri dalam shalatnya."

15. HR. Muslim dalam Kitabul Wudhu’ Bab: Fadhul Wudhu’.

16. HR. Al-Bukhari dalam Kitabut Tahajud Bab: Ad-Du’a wash Shalat minal Lail dan Muslim dalam Kitabus Shalatil Musafirin Bab: At-Targhib fi Du’a wadz Dzikri fi Akhiri Lail.

17. HR. Muslim dalam Kitabul Aqdiyah Bab: Taqdhul Ahkamil Bathilah wa Raddu Muhdatsatil Umur.

18. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman Bab: An-Yuhibba li Akhihi ma Yuhibbu li Nafsihi dan Muslim Kitabul Iman Bab: Ad-Dalil ‘ala Anna min Khishalil Imani An-Yuhibba li Akhihi ma Yuhibbu li Nafsihi minl Khairi.

19. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Al-Imaroh Bab: Al-Amru bil Wafa 'ibi Bai'atil Khulafail Awali fal Awali.

Nashnya berbunyi: Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: "Dahulu kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam suatu perjalanan. Lalu kami singgah dalam suatu tempat. Maka di antara kami ada yang memperbaiki tendanya, ada yang sedang keluar, dan ada yang sedang berada di tempat pengembalaan ontanya. Ketika seorang juru panggil Rasulullah menyeru: As-Sholah Jamiah, maka kami pun berkumpul menuju Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

"Tiada seorang Nabi pun sebelumku melainkan dia akan menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang dia ketahui, dan memberi peringatan kepada mereka dari kejelekan. Sesungguhnya pada umat ini akan selamat generasi awalnya dan musibah akan menimpa generasi akhirnya dan berbagai perkara yang akan kalian ingkari dan akan datang berbagai fitnah yang sebagian melumatkan sebagian yang lainnya, dan akan datang fitnah lalu seorang yang mukmin berkata: "Inilah kebinasaanku." Kemudian tampaklah fitnah tersebut. Lalu datanglah fitnah itu maka seorang mukmin berkata: "Inilah, inilah." Barangsiapa yang cinta untuk dijauhkan dari api neraka dan masuk ke dalam surga, maka hendaklah ajal menjemputnya sedangkan ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Dan hendaklah melakukan perkara yang disukai orang lain sebagaimana diapun menyukai bila perbuatan itu dilakukan terhadapnya, Barangsiapa membai'at seorang pemimpin, lalu ia memberikan bai'at dengan sepenuh hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sekuat tenaga (sesuai dengan kesanggupannya). Dan jika datang (pemimpin) yang lain (minta dibai’at) maka penggallah leher orang itu.”

20. HR. At-Tirmidzi dalam Kitabul Birri wa Shilah Bab: Ma Jaafi Ma 'alil Akhlaq dan Ahmad dengan lafadz: "Seungguhnya orang yang aku sukai adalah yang paling bagus akhlaknya." Juz 2 hal. 189, Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah juz 12 hal. 366, Al-Haitsami dalam Majma‘uz Zawaid, dia berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani, para perawinya shahih.

[Dari: Kitabul ‘Ilmi; Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin; Edisi Indonesia: Tuntunan Ulama Salaf Dalam Menuntut Ilmu Syar’i; Hal: 19-35; Cetakan Pertama, Rabi’ul Awwal 1427 H/ April 2006 M; Penerjemah: Abu Abdillah Salim bin Subaid; Penerbit: Pustaka Sumayyah]

0 comments: